PROLOG
AKU berlari secepat mungkin mengejar
pintu lift yang terbuka. Aku sadar sepatuku
yang berhak lima sentimeter itu
menghalangiku berlari. Tanpa pikir panjang,
kulepaskan sepatu itu dan berlari di
atas lantai marmer hitam tanpa alas kaki sambil
berusaha menjaga keseimbangan agar tidak
terpeleset. Huuup! Aku menarik napas
panjang ketika pintu lift tertutup
denganku di dalamnya. Aku akan menekan
tombol lantai 12, tapi ternyata tombol
itu sudah menyala, menandakan bahwa satusatunya
orang yang berada di dalam lift
bersamaku juga menuju lantai yang sama.
Dengan terburu-buru aku membersihkan
kedua telapak kakiku yang tertutup
stoking berwarna kulit dengan telapak
tangan. Setelah yakin tidak ada pasir yang
menempel, kukenakan sepatuku kembali.
Tanpa menghiraukan teman seliftku, aku
menghadap salah satu cermin yang
mengelilingi tiga sisi lift tersebut dan
menyapukan lipgloss pink di
bibirku. Kupastikan warna bibirku sudah rata sebelum
mengalihkan perhatian pada rambutku yang
hari itu dikucir kuda. Untung saja
karet yang kugunakan cukup kuat untuk
menahan rambutku yang sepunggung,
sehingga aku tidak perlu mengaturnya
kembali. Selanjutnya, kukeluarkan selembar
tisu basah dan mengusapkannya pada kedua
telapak tanganku sebelum melempar
tisu bekas pakai kembali ke dalam tas.
Langkah terakhir adalah menyemprotkan
sedikit parfum pada pergelangan tanganku
bagian dalam dan mengusapnya ke
leher. Puas dengan penampilanku, aku
lalu berdiri tegak dan menunggu hingga
pintu lift terbuka.
Saat itu aku baru sadar bahwa
satu-satunya orang yang berada di dalam lift
bersamaku adalah laki-laki. Seharusnya
aku tidak kaget, karena sewaktu memasuki
lift aku bisa mencium aroma Hugo Boss.
Tetapi, tetap saja aku sedikit tekrejut
karena setelah mengalihkan pandanganku
dari sepatu, celana panjang, dan
kemejanya yang jelas-jelas tidak dibeli
di Carrefour itu, ternyata wajah laki-laki
tersebut terlihat seperti salah satu
dewa Yunani. Ganteng abisss. Lebih tepatnya,
dewa Yunani yang superganteng dan tampak
agak jengkel. Ada kerutan di antara
alisnya, sementara bibirnya tertutup
rapat dan ujungnya tertarik ke bawah. Aku
tidak tahu apa masalahnya, tapi untuk
meringankan suasana aku berkata, “Sori, ini
hari pertama saya kerja, dan saya agak
terlambat.”
Aku yang tinggal di Amerika hampir
separoh hidupku, masih harus
membiasakan diri dengan keadaan
jalan-jalan di Jakarta yang superpadat dan tidak
pernah bisa ditebak. Belum lagi aku
masih agak kagok karena harus membawa
mobil di sisi yang berlawanan daripada
di Amerika. Di Jakarta ini aku terpaksa
menyetir mobil sendiri, padahal aku
lebih terbiasa naik Metro, yaitu sistem kereta
api bawah tanah di Washington, D.C.,
tempatku bermukim semenjak aku SMA.
Laki-laki itu tidak bereaksi. Dia justru
memandangiku sambil mengangkat salah
satu alis sebelum kemudian mengalihkan
perhatiannya pada pintu lift. Aku hanya
menarik napas melihat tingkah lakunya.
Setidak-tidaknya aku tidak perlu bertemu
dengannya lagi setelah aku keluar
dari lift ini, ucapku dalam hati.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 1
Bagus banget ceritanya...
ReplyDeleteiya... happy reading...
ReplyDelete