1.
BIKIN MALU
BERAPA kali sebetulnya orang bisa bikin
malu diri sendiri dalam satu hari? Selama
ini aku menyangka bahwa satu kali sudah
cukup. Dua kali kalau memang lagi sial.
Tapi hari ini aku memecahkan rekor
dengan melakukannya tiga kali.
Ketika pintu lift terbuka pada lantai
12, laki-laki itu melangkahkan kakinya
keluar dari lift bersamaan denganku. Aku
mencoba melewatinya dan berjalan
secepat mungkin menuju pintu masuk Good
Life yang terbuat dari kaca dengan
logo Good Life berwarna putih. Jam di
tanganku menunjukkan pukul 09.55. Aku
dminta duduk di lobi bersama-sama dengan
beberapa eksekutif muda lainnya yang
sedang menunggu. Aku menemukan tempat
duduk di sebelah seorang wanita yang
sedang membaca majalah Times dengan
sampul Donald Trump. Ketika dia
mengangkat wajah, aku memberinya
senyuman, namun dia tidak membalas
senyum itu.
Bitch!!! Apa
ibunya tidak pernah mengajarinya untuk membalas senyuman yang
diberikan dengan tulus? omelku dalam
hati.
Tak lama setelah itu aku melihat
laki-laki di lift itu memasuki pintu kaca yang
tadi kulewati dan berbicara dengan
resepsionis yang kemudian juga memintanya
untuk menunggu di lobi. Ya ampuuunnn!!!
Aku yakin sebentar lagi wajahku
memerah karena detak jantungku tiba-tiba
melonjak. Aku mencoba sebisa mungkin
untuk tidak menatap ke arah laki-laki
itu.
Tepat pukul 10.00, seorang bule, yang
kemudian kukenal sebagai bosku, Mr.
Patrick Morris, datang ke lobi dan
mempersilakan kami memasuki ruang pertemuan
berukuran superbesar. Aku memilih duduk
di kursi yang paling jauh dari pintu
masuk dan meletakkan tasku yang mulai
terasa berat di bahuku. Ruangan ini
dipenuhi foto berukuran besar beberapa
produk yang diproduksi dan didistribusi
oleh Good Life, seperti sampo, sabun
mandi, sabun pencuci baju, dan lain-lain. Pada
dasarnya Good Life adalah saingat
terbesar Unilever di Asia-Pasifik, tetapi lain
dengan Unilever yang berasal dari
Inggris, kantor pusat Good Life ada di Amerika,
tepatnya di Cincinnati, Ohio.
“Okay, everyone, make yourself
comfortable, and please do take some of those delicious
snacks and drinks,”
kata bule itu mempersilakan kami semua untuk bersikap santai
dan mengambil kudapan.
Aku bangkit dari duduk dan melangkahkan
kakiku menuju meja yang
menyediakan makanan kecil. Ketika aku
sedang menuangkan kopi tanpa kafein ke
dalam cangkir yang disediakan tanpa
disangka-sangka laki-laki di lift tadi berdiri di
sampingku, menunggu hingga aku selesai
dengan termos kopi itu. Setelah
mengambil sendok kecil, dua paket gula,
dan dua paket krimer, aku pun kembali
menuju tempat dudukku. Sambil
pelan-pelan meminum kopiku, aku mulai
memperhatikan semua orang di sekitarku.
Dapat kulihat bahwa setiap orang terlihat
lebih tua dariku setidak-tidaknya lima
tahun, kecuali laki-laki yang kutemui di lift
tadi. Kelihatannya dia sepantaran
denganku. Konsentrasiku buyar ketika suara Mr.
Morris terdengar lagi.
“Thanks so much for being here. The
purpose of this briefing is to let you know about the
process of the training that you are
gonna be going through in Cincinnati,” katanya
memberitahu apa yang kurasa sudah kami
semua ketahui, bahwa brifing ini tentang
proses training, yang akan kami
ikuti di Cincinnati.
Mr. Morris kemudian membagikan
amplop-amplop cokelat berukuran besar
kepada kami semua. Di atas amplop itu
tercetak nama masing-masing peserta yang
hadir.
“In the envelope you will find your
plane tickets, some spending money and the itinerary
and the accommodation scheduled for the
week that you are going to be there. You’ll be flying
together of course.”
Semua orang mulai membuka amplop
masing-masing dan memeriksa isinya
satu per satu; tiket pesawat, cek uang
saku, dan terutama jadwal kegiatan kami
selama di sana. Beberapa hari yang lalu
aku baru saja mendapatkan pasporku
kembali dari kedutaan Amerika di
Jakarta, yang memberiku visa untuk kunjungan
bisnis yang berlaku selama enam bulan.
Untungnya aku tidak mengalami masalah
sama sekali untuk mendapatkan visa itu.
Konsentrasiku buyar ketika aku mendengar
suara Mr. Morris lagi. “Why don’t we
get to know each other then, shall we?”
ucapnya dan proses perkenalan pun berlangsung.
Ternyata laki-laki yang tadi aku temui
di lift bernama Ervin Daniswara. Setelah
kuperhatikan beberapa saat, ternyata dia
bukan hanya ganteng, style-nya yang
serbarapi sangat cocok untuknya.
Rambutnya yang lurus di-gel sampai jabrik. Ada
sesuatu dari caranya memandang
orang-orang di sekitarnya yang kudapati sangat
menarik. Dia selalu sopan apabila orang
berbicara padanya, tetapi kurasa dia bukan
orang yang ramah, dalam artian dia tidak
akan membuka pembicaraan dengan
orang yang tidak dikenalnya. Mungkin itu
sebabnya aku merasa bahwa mungkin
saja orang yang belum mengenalnya
berpendapat dia sombong.
Tiba-tiba Ervin melemparkan pandangannya
ke arahku. Secara otomatis aku
langsung menunduk dan menatap amplop di
tanganku. Kemudian aku sadar bukan
hanya dia yang menatapku, semua orang di
dalam ruangan itu juga sedang
menatapku. Untung aku segera sadar bahwa
mereka menungguku
memperkenalkan diri. Buru-buru
kusebutkan namaku dan sedikit tentang latar
belakangku. Semua orang lalu mengangguk.
Aku mengembuskan napas lega.
Hampir saja, ucapku dalam hati. Aku
sadar Ervin sedang memandangiku dengan
mata melebar.
“Dasar rese,” gumamku.
Sekali lagi Mr. Morris menyelamatkanku
dari pikiranku yang suka merajalela,
“Alright, that is all folks. Please
make sure that you don’t miss your flight, which will be
around a week from today. Since nobody
is going to take care of you, so you better arrange
your own little get together to settle
how you gonna meet up and handle any travelling
issues,” ucapnya
menyarankan kami mengatur sendiri kesepakatan dalam
perjalanan kami, kemudian menggiring
kami keluar.
Setelah sepakat dengan yang lain untuk
bertemu kembali di konter check-in
Cathay Pacific pukul satu siang seminggu
lagi, aku menuju pelataran parkir, ke
mobilku, dan pulang. Kulihat Ervin
menuju ke arah yang sama. Pelan-pelan aku
mulai mengaduk-aduk tasku untuk mencari
kunci mobilku. Sembari berjalan,
kulihat ada sebuah M3 yang terlihat
cukup baru parkir di sebelah mobilku yang
tiba-tiba kelihatan jauh lebih tua
daripada mobil itu.
Gila amat nih orang, hari gini masih
bisa beli BMW, pikirku. Tanpa disangkasangka
aku mendengar bunyi blip-blip yang
menandakan bahwa pemiliknya ada di
sekitar pelataran parkir itu, dan sedang
menuju mobilnya.
Aha... akhirnya ketemu juga nih kunci,
hatiku berteriak senang. Aku menekan
tombol untuk membuka kunci pintu
mobilku. Tapi dasar sial, aku justru menekan
panic-button.
Bunyi nyaring alarm mobilku mulai mengisi seluruh pelataran parkir.
Aku buru-buru mencoba mengatasi keadaan,
tetapi ketika menekan tombol yang
seharusnya mematikan alarm itu, tidak
ada yang terjadi. Dalam kepanikan, aku
mendengar suara di belakangku.
“Hey, are you okay? Do you need help
with that?”
“Nggak, nggak apa-apa,” jawabku sambil
menekan-nekan tombol itu dan
berbalik menghadap orang yang menawarkan
bantuannya padaku. Lagi-lagi Ervin,
tapi kini wajahnya tidak lagi terlihat
jengkel, melainkan khawatir. Aduh, kok sial
banget sih, bikin malu diri sendiri tiga
kali dalam satu hari? pikirku.
Kulihat Ervin buru-buru melangkah ke
arahku dan berkata, “Lo yakin ini mobil
lo?” Dengan kesal aku memandangnya tanpa
senyum. “Ya iyalah, cuma alarmnya
lagi macet aja.”
“Boleh gua lihat?”
“Gue bisa kok... Oh shit...” Aku
melihat seorang satpam melangkah ke arahku
dengan tatapan curiga.
Putus asa, aku berkata, “Kalau lo bisa,
berarti lo lebih canggih daripada gue,”
sambil menyerahkan kunciku kepada Ervin.
Tanpa ragu-ragu dia langsung menekan
tobol yang sudah kutekan-tekan dari
tadi dan alarm mobilku berhenti
berbunyi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya perlahan-lahan,
bersyukur terlepas dari siksaan bunyi
alarm mobil. Tapi kemudian aku melihat
satpam tadi tetap berjalan ke arahku.
“Ada masalah, Mbak?” tanya satpam itu
padaku.
Aku baru saja akan menjawab pertanyaan
itu ketika mendengar orang lain
sudah melakukannya untukku.
“Nggak, Pak, nggak apa-apa, cuma tombol
alarm rusak.”
Ervin yang menjawab pertanyaan itu.
Satpam hanya mengangguk, lalu kembali
melakukan tugas keliling.
Sembari mengembalikan kunciku, Ervin
berkata, “Kunci itu harus diganti
secepatnya supaya nggak bermasalah
lagi.”
Nenek-nenek juga tahu, pikirku dalam
hati, tapi yang keluar dari mulutku
justru, “Thanks.” Aku mengambil
kunciku dari tangannya.
Ervin hanya mengangguk sebelum beranjak
ke mobilnya yang ternyata adalah
M3 yang parkir di sebelah mobilku. Dia
berlalu sambil memberikan senyuman yang
sempat membuatku berdiri kaku di samping
mobilku. Seharusnya ada suatu tanda
peringatan yang harus dia bawa ke mana
pun dia pergi untuk memberitahu kami,
kaum Hawa, agar menutup mata ketika dia
memutuskan untuk tersenyum. Selama
ini aku tidak pernah percaya bahwa satu
senyuman bisa membuat orang tersenyum
tersipu-sipu tanpa sebab. Ternyata aku
salah, karena saat itu aku tersenyum-senyum
sendiri seperti orang gila.
No comments:
Post a Comment