Monday, October 12, 2015

SLEEP WITH THE DEVIL - SANTHY AGATHA - BAB 2


BAB 2

Perjalanan itu terasa menyiksa dan panjang. Tubuh Lana dilempar begitu saja dengan kasar oleh bodyguard Mikail ke bagasi dan dikunci dari luar.
Lana berusaha menendang, berteriak, meronta, tetapi pada akhrnya dia kelelahan dan kehabisan oksigen. Menyadari bahwa ruang bagasi ini begitu sempit dan pengap dengan asupan oksigen yang makin menipis, Lana terdiam. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar keras, campur aduk antara rasa takut dan ingin tahu, akan dibawa kemanakah dirinya ?
Lama sekali Lana menunggu, sampai akhirnya mobil itu melambat. Terdengar suara pintu gerbang yang berat dibuka, lalu mobil itu melaju lagi, melambat, dan kemudian berhenti.
Suara pintu mobil dibanting. Dan syukurlah, ada gerakan membuka bagasi. Lana bersiap melompat dan menyerang siapa saja yang membuka pintu bagasi itu, lalu kabur. Ah ya Tuhan, semoga semudah itu.

Pintu bagasi terbuka sedikit dan secercah cahaya masuk melalui celah yang hanya dibuka sempit.
“Lana,” itu suara Mikail dan lelaki itu memanggil namanya. Wajah Lana langsung pucat pasi. Lelaki itu sejak awal sudah mengetahui penyamarannya!
“Aku akan membuka pintu bagasi ini, tapi kau harus berjanji untuk bersikap tenang dan tidak memberontak,” Ada seberkas senyum di suara Mikail. Kurang ajar. Lelaki itu pasti dari tadi sudah menertawakan kebodohannya!, “Kau ada di rumahku, dan perlu kau tahu, para pengawalku sangat tidak ramah. Kusarankan kau turun dengan sikap penurut dan tenang, demi dirimu sendiri, karena para pengawalkumungkin akan melukaimu kalau kau bertindak bodoh” Rumah Mikail. Lana memejamkan matanya frustrasi. Dari informasi yang dia dapatkan, rumah Mikail yang terletak di atas tanah begitu luas di kawasan elite pinggiran kota. Rumah itu dipagari dengan pagar tinggi di sekelilingnya dan setiap akses masuk dijaga oleh pengawal-pengawal Mikail. Tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke area rumah ini tanpa sepengetahuan Mikail. Begitupun, tidak akan ada orang yang bisa keluar dari rumah ini tanpa seizin Mikail.
“Bagaimana Lana? Apakah kau berjanji untuk bersikap baik,dan aku akan mengeluarkanmu secara manusiawi. Atau kau memilih bertindak bodoh lalu mungkin aku akan mengikatmu dalam karung dan kusekap di gudang,” suara Mikail di luar menyadarkan Lana dari lamunannya.

“Kenapa kau membawaku kemari?,” gumam Lana penuh keberanian.

Terdengar suara Mikail terkekeh di luar sana, “Menurutmu kenapa Lana? Apa kau pikir aku semudah itu diracuni di tempat umum? Apa kau pikir aku tidak tahu kalau
kau selama ini mengendus-endus mencari kesempatan untuk membalaskan dendammu?” Suara Mikail terdengar dekat,
“Kau sudah bermain api,” bisiknya, “Sekarang saatnya kau untuk terbakar.” Pintu bagasi itu terbuka tiba-tiba dan Lana belum siap meronta. Lagipula, percuma meronta. Di belakang Mikail yang berdiri dengan pongahnya, ada beberapa bodyguard dengan tubuh kekar bertampang seperti batu. Dan melihat tampang dan penampilan mereka, Lana tahu, mereka tidak akan segan-segan melukainya kalau Lana berbuat sesuatu yang sekiranya akan mencelakakan majikan mereka.
Mikail mundur selangkah, lalu mengulurkan tangannya setengah membungkuk, “Silahkan tuan puteri, biarkan aku membantumu keluar,”gumamnya mengejek.
Lana menatap tangan itu lalu menggeram marah. Kurang ajar sekali iblis yang satu ini!
Dengan marah, ditepiskannya tangan Mikail dan dia berusaha keluar sendiri dari bagasi sempit itu meskipun sedikit kesulitan karena kaki dan tangannya kaku dilipat di ruangan sempit dan menempuh perjalanan entah berapa puluh kilo.
Akhirnya Lana berhasil berdiri keluar dari bagasi, dengan sepenuh harga dirinya.
Mikail mengamati Lana dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan melecehkan, lalu senyum muncul lagi di sudut bibirnya,
“Mari, silahkan masuk. Selamat datang di rumahku,” setengah memaksa lelaki itu mencengkeram lengan Lana yang kaku lalu membawanya masuk ke dalam rumahnya.

Bagian depan ruang tamu Mikail sangat megah, dengan arsitektur gaya lama yang entah kenapa bisa tampak modern. Lantai marmernya berkilauan dengan warna gading, dan pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi, dipadukan dengan nuansa warna merah dan emas. Mikail membawa Lana menuju ke sebuah tangga besar melingkar berwarna putih dan sekali lagi setengah menyeretnya menaiki tangga.
Mereka berdua berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna putih, “Kau akan tinggal di kamar ini mulai sekarang,” gumam Mikail datar. Lana membelalakkan mata, marah pada Mikail,
“Atas dasar apa kau memutuskan aku harus tinggal di mana. Aku mau pulang”
Bibir Mikail masih menyiratkan senyum, tapi matanya tidak. Mata itu bersinar dengan tatapan tajam dan dingin,
“Kau tidak bisa pulang. Sekarang, ini adalah rumahmu. Bersamaku”
Dengan cepat lelaki itu merengkuh pundak Lana, dan detik itu Lana menyadari bahwa lelaki itu akan menciumnya. Secepat mungkin dia memalingkan muka, mencoba memberontak, hingga bibir Mikail hanya mendarat di pelipisnya.
Cengkeraman Mikail di pundaknya makin kuat sehingga terasa menyakitkan,

“Aku sudah memutuskan untuk memilikimu. Dan satusatunya cara kau lepas dariku adalah ketika aku memutuskan untuk melepaskanmu, atau ketika kau… Mati,” dengan kalimat penutupnya yang begitu kejam, MIkail membuka pintu putih itu, dan mendorong Lana masuk. Lalu menguncinya dari luar, meninggalkan Lana yang menggedor - gedor dan menendang-nendang pintu itu dari dalam dengan histeris.

***
“Menurutmu apakah dia sudah siap untukku?,” Mikail mengenakan jubah tidurnya, sutera hitam, dan duduk di sofa di dalam kamarnya. Hidangan lengkap tersedia untuknya di meja. Dengan tenang, lelaki itu menyesap anggurnya, lalu menatap Norman, pengawal pribadinya sekaligus orang kepercayaannya yang berdiri di depannya dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi.
“Saya pikir dia sudah siap, bukan untuk menyerah kepada Anda, tetapi siap membunuh anda. Tatapan matanya adalah tatapan pembunuh yang penuh kebencian”
Mikail tersenyum tipis mendengar jawaban Norman itu, “Ya, tatapan matanya membakar, penuh kebencian.,” Mikail menyesap anggurnya lagi, memejamkan matanya, “Tapi kau tahu bagaimana aku sangat ingin memilikinya malam ini”
“Ya saya tahu,” jawab Norman tenang, “Apakah Anda akan memaksanya…?”
“Aku tidak suka memaksa perempuan, kau tentu tahu”
Mikail terbiasa dikelilingi perempuan yang menyerahkan diri padanya. Tidak ada seorang perempuanpun yang mampu menolak pesona Mikail Raveno. Dengan rambut hitam legam yang sedikit panjang mengena kerah, mata cokelat pucat dan wajah aristrokatnya hampir bisa dikatakan sempurna seperti malaikat…… Kalau saja matanya tidak begitu dingin, tanpa perasaan dan menyimpan kebencian mendalam, menakutkan. Mikail bagaikan iblis yang terperangkap dalam raga malaikat.
“Aku ingin dia menyerahkan dirinya padaku dengan sukarela” Tentu saja. Gumam Norman dalam hati. Kata-kata Mikail bagaikan perintah baginya.

***

Obat ini sangat keras, dan tidak bisa digunakan untuk main- main. Norman mengamati bubuk putih dalam wadah kecil di depannya. Sangat keras, sekaligus sangat efektif.
Dan kalau perempuan itu meminumnya, maka perempuan itu akan menyerah pada Mikail, dan menyenangkan tuannya.
Dengan gerakan pelan penuh perhitungan, Norman mencampurkan bubuk putih tanpa rasa itu ke dalam minuman Lana.
Obat ini akan membuat perempuan tersiksa, meminta dipuaskan. Kalau tidak ada yang memuaskannya, perempuan itu akan merasa seluruh tubuhnya terbakar,
kesakitan. Dan Norman yakin, Lana akan meminta, bahkan memohon-mohon pada tuannya malam ini.
Malam ini perempuan itu akan menyerah dalam tanganmu, Tuanku.
Norman tersenyum dalam hati, menanti apa yang akan terjadi.

***
Sudah hampir satu jam Lana dikurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih, di karpet, di ranjang, di semua furniture-nya. Kamar ini dibuat untuk perempuan, dan Lana merasa jijik membayangkan bahwa mungkin kekasih-kekasih Mikail yang sebelumnya juga ditempatkan di ruangan ini.
Salah seorang pengawal Mikail yang bertampang paling dingin, setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan, meletakkannya di meja. Lalu tanpa berkata apaapa pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.
Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Lana mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat menggoda itu.
Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena terlalu gugup merencanakan pembalasan dendamnya pada Mikail, dan sekarang dia kena batunya.
Aroma makanan itu terasa begitu menggoda, aroma manis dan gurih masakan yang masih panas.
Mungkin jika aku mengintip sedikit apa makanannya…..tidak! Lana menghardik dirinya sendiri dalam hati. Dia tidak akan makan, lebih baik dia mati kelaparan daripada harus menyerah pada kekuasaan Mikail.
Tapi jika hanya minum mungkin tidak apa-apa. Lana melirik haus pada minuman di nampan itu. Sari jeruk segar yang tampak begitu menggoda.
Akhirnya lana menyerah. Dia haus sampai terasa mau pingsan, dan dia harus minum, kalau tidak dia mungkin akan benar-benar pingsan. Lana tidak boleh pingsan, dia harus mencari cara untuk melarikan diri dari kamar ini, dari rumah ini.
Dengan cepat disambarnya gelas itu, diminumnya langsung berteguk-teguk karena begitu hausnya. Aliran dingin air itu terasa begitu segar ketika membasahi kerongkongannya.
Tanpa sadar segelas minuman itu tandas sudah, Lana meletakkan gelas itu dengan pelan, sedikit merasa bersalah. Tapi bagaimanapun juga dia tidak menyesal. Dia merasa
lebih baik. Sekarang dia bisa memikirkan cara untuk kabur dari rumah ini,
Mata Lana berputar, ke sekeliling ruangan, mencari cara untuk melarikan diri. Ada jendela besar di ujung sana, yang dilapisi gorden berwarna putih, mungkin Lana bisa mencari cara keluar dari sana.
Dengan hati-hati Lana melangkah ke arah jendela itu untuk memeriksanya, tetapi seketika itu juga hatinya kecewa. Jendela itu sudah dilapisi kaca tebal, dan penuh dengan teralis besi yang sangat kuat. Lagipula Lana baru menyadari bahwa dia ada di lantai dua, kalaupun dia bisa membuka jendela itu, dia harus mencari cara agar bisa turun dari lantai dua dengan selamat.
Lana mencoba berpikir, dia belum memeriksa kamar mandi yang ada di ujung kamar, mungkin ada jalan keluar dari sana yang lolos dari pengawasan. Dengan cepat dia melangkah ke kamar mandi, tetapi langkahnya terhuyung. Entah kenapa kepalanya terasa pening, dan seluruh tubuhnya menggelenyar…. Kepanasan…
Ada apa ini? Lana meraba dahinya sendiri, terasa panas, Apakah dia demam? Napas Lana terengah, semuanya
terasa panas….. terasa panas… Lana sangat butuh….

***

Mikail membuka pintu kamar tempat Lana dikurung dengan pelan. Sudah larut malam, dan Mikail tidak mengharapkan Lana masih bangun.
Kamar itu gelap dan remang-remang, tapi mata Mikail menangkap nampan makanan yang masih utuh, hanya minumannya yang habis.
Gadis keras kepala. Geram Mikail dalam hati, dia pikir dia bisa mengancam Mikail dengan membiarkan dirinya sendiri kelaparan. Dia tidak tahu bahwa Mikail akan menggunakan segala cara untuk membuat Lana menyerah padanya… Gerakan gemerisik di ranjang membuat Mikail menoleh waspada. Dalam keremangan kamar itu, Mikail melihat Lana terbaring di sana, gelisah. Perempuan itu belum tidur rupanya…. Dan dia tampak… tidak tenang. Ingin tahu, Mikail mendekat, dan menemukan Lana berbaring disana dengan tatapan mata tersiksa. Tubuhnya menggeliat di atas ranjang berseprei satin putih itu seperti kepanasan, “Tolong…panas….,” suara Lana mendesah, serak seperti kesakitan.
Mengernyitkan keningnya, Mikail duduk di tepi ranjang, dan menyentuhkan jemarinya ke dahi Lana, suhunya normal, dia tidak demam. Kerutan di kening Mikail makin dalam, lalu kenapa perempuan ini bilang kalau dia kepanasan?
“Kau mau minum?,” dengan cekatan Mikail mengambil gelas air di meja pinggir ranjang, “Sini, aku bantu kau minum.” Mikail bangkit dan mengangkat tubuh Lana, lalu mencoba membuatnya berdiri. Tubuh Lana menggayut lemah di lengannya, dan napas perempuan itu terengah, “Panas…. Tolong… panas sekali….,” Sekali lagi Lana mendesahkan suara itu, suara kepanasan, seperti tersiksa.  Mikail meminumkan air itu kepada Lana, dan dengan rakus Lana menghirup air itu. Tetapi napasnya tetap terengah, dan dia masih tampak tersiksa oleh rasa panas yang mendera tubuhnya.
Pasti ada sesuatu…. Jangan-jangan….
Mikail memundurkan tubuh Lana yang bersandar padanya, supaya dia bisa mengamati Lana dengan jelas.
Wajah Lana merona kemerahan, napasnya terengah, dan matanya sedikit tidak fokus, dia selalu mengeluh kepanasan…. Jangan-jangan…
Dengan cepat Mikail membaringkan Lana di ranjang, dan melangkah keluar dari kamar bernuansa putih itu, membanting pintunya, dan berteriak,
“Norman!”
Sekejap, tanpa suara seolah menggunakan sihir, Norman muncul di depan Mikail,
“Ya Tuan”
“Kau campurkan apa di minuman Lana?”
Norman sedikit membungkukkan tubuhnya, wajahnya tanpa ekspresi, “Saya mencampurkan obat milik saya, Tuan tahu itu obat apa”
Wajah Mikail mengeras, “Ya. Aku tahu itu obat apa. Dan aku menolak memperalat wanita dalam pengaruh obat. Kau melakukan sendiri tanpa meminta izinku, kau tahu kalau aku marah aku bisa menghukummu”
Norman tampak tidak terpengaruh dengan kata-kata Mikail, “Anda memerintahkan saya untuk membuat perempuan itu menyerah. Dia sangat membenci anda, dan pasti akan berontak mati-matian. Obat itulah satu-satunya cara  membuat dia menyerah,” Norman menatap mata Mikail,
“Anda bisa meninggalkan kamar ini kalau anda tidak ingin memanfaatkannya”
“Dia kesakitan, kau tahu itu,” geram Mikail marah. Norman mengangkat bahunya,
“Anda bisa meredakan sakitnya. Dan besok, setelah Anda memilikinya, mungkin dia akan menjadi lebih penurut”
“Berapa banyak obat yang kau berikan padanya?”
“Dosis biasa tuan, tetapi efeknya berbeda-beda tergantung orangnya”
“Jadi ini bisa berlangsung selama berjam-jam atau bisa juga sepanjang malam?”
“Ini bisa berlangsung selama Anda ingin bersenang-senang, Tuan”
Mikail terdiam. Kata-kata Norman terasa begitu menggoda.

***

Mikail kembali masuk ke dalam kamar, didorong perasaan yang kuat untuk melihat Lana kembali.
Lana masih menggeliat dan mengerang-erang di atas ranjang, ketika Mikail duduk di ranjang. Lana menatap Mikail dengan mata berkabut, seolah tidak mengenalinya.
“Aku sakit….tubuhku… panas…”
Mikail tersenyum dengan kelembutan yang aneh. Lana benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya, bahwa hanya ada satu cara untuk menyembuhkan Lana dari kesakitannya. Dan Lana membutuhkan Mikail untuk itu.
Mikail mencondongkan tubuhnya dan menyapu lembut bibir Lana, mendapati mata Lana membelalak kaget. Mikail tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. Sungguh luar biasa, perpaduan antara kepolosan dan gairah yang kuat sungguh sungguh menggodanya.
“Kau tidak menyukainya?,” bisik Mikail lembut.
Lana menatap Mikail, atau setidaknya mencoba menatap dengan matanya yang sulit fokus,
 “Aku… apa yang terjadi pada diriku?”
Mikail mengulurkan jemarinya, dan menyapukannya di pipi Lana, membuat tubuh Lana bergetar.
“Anak buahku mengambil keputusan sendiri dan mencampurkan obat di minumanmu…”
“Obat…? Apakah aku diracuni?”
“Itu bukan racun Lana, obat itu akan merangsangmu sampai hasratmu tak terkendali, dan kau akan kesakitan jika dirimu tidak dipuaskan”
Lana butuh waktu sesaat untuk mencerna, sampai kemudian menyadari arti kata-kata Mikail, sedikit kesadarannya meneriakkan peringatan akan bahaya. Dan tubuhnya langsung beringsut, susah payah mencoba menjauhi Mikail.
Tetapi Mikail merengkuh Lana lagi dan berbisik lembut di telinga Lana,
“Aku bisa membantumu menyembuhkan rasa sakitmu,” sambil berbicara, tangannya yang bebas turun ke dada Lana. Erangan Lana ketika merasakan jemari Mikail menyentuhnya terdengar begitu menderita, “Terlalu sensitif, sayang? Kau membutuhkan pelampiasan dengan segera bukan?,” Tangan Mikail bergerak ke pusat gairah Lana.
“Tidak!,” Lana mencoba berteriak dan mencengkeram lengan Mikail, “Jangan! Kau tidak boleh melakukannya!”
“Ini satu-satunya cara agar kau tidak kesakitan lagi, Sayang,” suara Mikail terdengar sedikit parau, “Biarkan aku membantumu”
Lana mengerang ketika denyutan itu meningkat seiring dengan sentuhan Mikail. Otaknya memberontak atas apa yang dilakukan pria itu dengan jari-jarinya, tapi tubuhnya tak kuasa menolaknya. Lana membutuhkan jemari Mikail itu….
Ia membutuhkan….
“Aku akan menolongmu Lana, tapi kau juga harus menolongku. Aku juga butuh pelepasan sendiri. Lihat aku Lana, lihatlah tubuhku”
Mikail membuka jubah sutra hitamnya, dan tubuhnya telanjang di balik jubah itu. Dan napas Lana tercekat ketika melihat bukti gairah Mikail begitu keras.
“Gunakan diriku Lana, biarkan aku merasakan tubuhku ada di dalam dirimu dan menyembuhkanmu,” Kata-kata itu adalah satu-satunya kata yang mirip dengan permintaan yang pernah Mikail gunakan pada perempuan, dan hanya dia lakukan kepada Lana. Mikail melakukannya karena dia sangat bergairah kepada Lana, dia amat sangat bergairah, dan Lana tidak dalam kondisi untuk menolak gairahnya. 
Tubuh Mikail sudah menindih Lana, dan perempuan itu menggodanya dengan pinggulnya yang menggeliat dan mengundang. Mikail menyangga tubuhnya dengan siku, menjaga agar dadanya yang keras tidak menindih tubuh Lana. Mikail menunduk dan mencicipi bibir Lana yang begitu menggoda dan menggairahkan, bibir itu begitu manis dan menggoda,
“Tenang sayang, aku mungkin akan menyakitimu,” Mikail menahan pinggul Lana dengan tangannya, karena pinggul itu bergerak-gerak mendesaknya dengan mengundang. Lana sudah sepenuhnya ada di bawah pengaruh obat itu, “Tapi aku berjanji, setelah rasa sakit itu, kau akan merasakan kenikmatan”
Detik itu juga Mikail mendesakkan dirinya ke dalam tubuh Lana. Hati-Hati. Mikail menggertakkan giginya, mencoba menahan gairahnya yang begitu kuat, mencoba meredakan dorongan untuk menerjang dan menenggelamkan tubuhnya dalam-dalam ke dasar balutan sutera panas milik Lana.
Hati-hati, perempuan ini masih perawan. Mikail mencoba mengingatkan dirinya lagi. Penghalang itu ada, seolah mencoba menahan Mikail memasukinya, dan Mikail mendesak maju, mengklaim apa yang menjadi miliknya.
Lana adalah miliknya!

*episode ini adalah awal dari erotisme novel ini. aq suka karakter lana pada novel ini yang digambarkan sebagai gadis keras kepala, tetapi sangat lembut.

***

No comments:

Post a Comment