Saturday, September 26, 2015

NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 27


27
SESEDERHANA ITU

PUKUL EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di lereng kebun strawberry.

Menatap gemerlap cahaya bintang dan bulan separuh. Akhirnya setelah nyaris enam jam hujan deras itu terhenti. Awan hitam menggumpalnya habis sudah menumpahkan air. Yang lain sudah jatuh tertidur di kamar. Ikanuri dan Wibisana tidak bicara banyak selepas pulang dari kota kecamatan. Kalau dua sigung nakal itu saja ikut tersentuh secara emosional dalam urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta, enam jam lalu di ruang tengah rumah, malah berseru tertahan soal betapa keras kepalanya Dalimunte. Betapa Dalimunte tega membuat Mamak dan Kak Laisa menangis. Lantas lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras.

"Boleh aku bergabung—"
Laisa menoleh. Menatap datar Dalimunte yang mendekat. Sejenak diam. Lantas tersenyum. Mengangguk.
Dua kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh gempal Laisa hanya sedada tinggi Dalimunte. Menatap hamparan pohon strowberry yang sedang berbuah. Merah ranum. Minggu-minggu ini panen besar.
"Maafkan Dali yang keras kepala—" Dalimunte berkata pelan.
Laisa menoleh. Mengangguk. Tidak. Ia tidak ingin membicarakan keributan enam jam lalu. Ia tidak bisa memaksa Dalimunte. Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu.

"Apakah Kak Laisa marah?"

Laisa menggeleng. Menggenggam erat lengan Dalimunte. "Aku tidak akan memukulmu dengan rotan, Dali—" Tertawa kecil.

Senyap sejenak.
"Boleh. Bolehkah Dali bertanya sesuatu?" Laisa mengangguk.

"Apa... apa yang sebenarnya Kak Lais pikirkan setiap kali berdiri di sini menatap langit dan lembah?" Dalimunte bertanya pelan.
Laisa tersenyum, "Banyak hal—" "Banyak?"
"Ya, tentang masa lalu kita. Tentang hari ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak kecil dulu sudah amat membanggakan Mamak dan Kakak. Lihat, kincir air itu, Dali yang buat. Tanpa itu, tidak akan ada perkebunan strowberry sekarang. Tidak akan ada lampu-lampu.... kehidupan warga kampung yang lebih baik... Kakak juga mengenang Ikanuri dan Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang selalu memaksa minta diantar melihat sesuatu di hutan. Ladang jagung kita. Semua kejadian-kejadian itu. Tiga harimau itu. Masa lalu yang indah— Kakak juga memikirkan tentang hari ini. Perkebunan strowberry Mamak. Penduduk lembah yang semakin makmur. Fasilitas sekolah yang semakin baik. Pengalengan buah di kota provinsi. Kau yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota. Ikanuri dan Wibisana yang ambisius sekali dengan bengkel mobilnya. Yashinta yang amat mencintai lingkungandan konservasi entahlah. Dan Mamak yang terlihat bahagia menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang tidak pernah mrmbayangkan kehidupan kita akan sebaik ini..... Kakak juga memikirkan tentang masa depan.... Ah, kalau kau menikah, maka rumah panggung ini akan segera ramai, Dali. Anak-anak yang pintar. Ayahnya pintar, pasti anaknya jauh lebih pintar.... Kau tahu, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa anak-anak Ikanuri dan Wibisana nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya akan tampan dan cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman mahasiswanyajatuh hati.... Kalau kalian satu persatu mulai berkeluarga, perkebunan ini akan ramai oleh celoteh anak-anak—"

Hening lagi sejenak.

"Apakah, apakah Kak Lais tidak pernah memikirkan yentang itu saat berdiri sendirian di sini?" Dalimunte menelan ludah.
"Memikirkan apa?"

"Umur Kak Lais? Pemikahan? Kesendirian? Pernahkah Kak Lais memikirkan diri sendiri...." Laisa tertawa, melambaikan tangannya,
"Dali, tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya dulu lebih sering datang. Tapi buat apa Kakak membuang-buang waktu memikirkan tersebut. Hidup Kakak sudah amat indah tanpa perlu memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh dewasa. Dengan segala kesempatan hebat. Itu sudah amat membahagiakan Kakak. Melihat anak-anak lembah berkesempatan sekolah. Kehidupan mereka yang lebih baik dengan perkebunan strawberry ini. Itu sudah lebih dari cukup.
"Kau tahu, seperti yang Kakak bilang dulu, jodoh ada di tangan Allah. Mungkin dalam urusan ini, Kakak tidak seberuntung dibandingkan dengan memiliki adik-adik yang hebat seperti kalian.... Dulu memang mengganggu sekali mendengar pertanyaan tetangga, tatapan mata itu, tetapi mereka melakukannya karena mereka peduli dengan kita. Satu dua menyampaikan rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik, namun itu bukan masalah. Kakak tidak pernah merasa kesepian, Dali. Bagaimana mungkin Kakak akan kesepian dengan kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku juga sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga puluh empat tahun. Tapi apa yang Kakak harus lakukan? Itu semua ada di tangan Allah. Yang lebih penting aku pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi, apakah masih berkesempatan melakukan banyak hal di lembah ini, berkesempatan melihat kalian melakukan hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan keseharian di perkebunan...,"

Kak Laisa tersenyum tulus.
"Hanya itu? Sesederhana itu?" Dalimunte menelan ludah.
Kak Laisa tertawa,

"Apalagi yang harus aku pikirkan, Dali? Bukankah kehidupan di lembah ini hanya sesederhana itu?"
Dalimunte terdiam. Mengusap wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru.

Bahkan Kak Laisa sedikitpun tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Apalagi memikirkan tentang sebutan gadis tua yang disandangnya, pernikahan. Ya Allah, Kak Laisa memang seringan itu menanggapi segala keterbatasan hidupnya. Bagi Kak Laisa, adik-adiknya jauh lebih penting.

Pertanyaan itu, pertanyaan yang selalu dia ingin sampaikan, ternyata sederhana sekali jawabannya. Kak Laisa tidak pernah sekalipun berkeberatan dengan takdir kehidupannya.



NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 28

No comments:

Post a Comment