Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 1

Bab 1 

27 Agustus 
Siapa sangka gue bakal ketemu dia lagi? Kenapa harus sekarang? Gue pakai bikin malu diri sendiri di depan dia pula. Gue nggak tahu mau dikemanain muka gue ini. Terus kenapa juga dia harus sok ramah sama gue sih? Toh gue sudah tahu belangnya dari dulu-dulu. Dan gue yakin dia nggak banyak berubah. Oke, itu nggak benar. Ada beberapa perubahan pada dirinya, terutama tampangnya dan tubuhnya yang… ya ampun, gue mungkin bakal masuk neraka kalau mikirin tubuh it uterus. Ermm… kalau dipikir lagi. Sebenarnya gue sekarang nggak Cuma “Mungkin” masuk neraka. Gue memang sudah di neraka *** “Ya ampun… apa kabar?” tanyaku sambil perlahan-lahan mengambil langkah untuk mendekatinya. Hanya Kafka yang akan memanggilku Nad-Nad. Walaupun dulu dia akan mengatakannya dengan nada mengejek sehingga lebih terdengar seperti “Nyat-Nyat”. Aku masih tidak menyangka bahwa laki-laki yang sekarang berdiri di hadapanku hanya dengan menggunakan handuk adalah anak laki-laki yang paling kubenci sepanjang hayatku. Kafka tertawa mendengar nadaku yang betul-betul terdengar terkejut ketika melihatnya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Kamu gimana?” tanyanya balik. “Aku biasa saja,” balasku “Aku selalu mikir kamu pasti ada sisi liarnya, tapi aku nggak nyangka anak emasnya sekolah kita ternyata suka clubbing dan minum.” Cara Kafka mengatakannya tidak seperti orang yang sedang menilaiku. Dia benar-benar terdengar terkejut bahkan sedikit penasaran. Liar? Apa aku tidak salah dengar? Kafka menggunakan kata liar untuk menggambarkan diriku. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa tersinggung atau tersanjung dengan kata itu. Pada saat yang bersamaan, aku mencoba memutuskan dari mana dia tahu bahwa aku memang pergi clubbing tadi malam? Tetapi kemudian aku menyadari bahwa pakaian yang kukenakan pada dasarnya sudah meneriakkan statusnya sebagai pakaian clubbing dengan glitter yang bisa membutakan mata kalau dipandang terlalu lama. “Ooohhh… ini Cuma jarang-jarang saja kok. Aku nggak banyak berubah. Masih tetap kutu buku dan ngebosenin.” “Kamu nggak pernah ngebosenin dan style kutu buku kamu itu malah bikin aku selalu penasaran sama kamu.” Kafka lalu membuka lemari pakaian yang ada di sebelah kanannya dan narik sehelai kaus putih, sehingga dia tidak melihat ekspresi wajahku yang sedang menatapnya dengan mulut terbuka. Kalau saja kata-kata itu diucapkan dengan nada lain, aku mungkin tidak akan merasa ge-er, tetapi cara Kafka mengucapkannya seakan-akan dia sedang mengujiku. Nggak… nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar. Kafka tidak memiliki kemampuan untuk menguji orang, dia hanya bisa mengejek. Tanpa memedulikan diriku yang masih berdiri di hadapannya Kafka mengenakan kaus putih itu dan aku harus menutup mataku ketika dia melepaskan handuk yang mengelilingi pinggulnya. Tetapi ketika aku mengintip dia ternyata sudah mengenakan celana dalam jenis boxer-briefs berwarna hitam di bawah handuk itu. Aku mencoba menahan diri agar tidak mendengus karena menyadari kekonyolanku yang sudah berpikir terlalu jauh. “Kamu tinggal di sini?” tanyaku mencoba mengisi keheningan. Meskipun sudah ingin melarikan diri dari hadapan Kafka, tetapi aku telah dibesarkan untuk mengutamakan tata krama jika bertemu dengan
orang yang kita kenal. Meskipun orang tersebut adalah Kafka si anak sialan itu. “Di hotel ini maksud kamu?” balas Kafka sambil menarik jins yang di gantung di dalam lemari sebelum mengenakannya. Saat itu aku menyadari betapa gobloknya pertanyaanku itu. Mencoba menutupi kesalahanku, aku menambahkan, “Bukan, maksudku di… uhm… di…” aku berusaha sebisa mungkin mengingat-ingat dimana aku berada, tetapi tidak satu nama pun muncul di kepalaku. “Di Bali?” Kafka mencoba membantuku. “Iya… di Bali,” teriakku antusias. Kafka hanya menggeleng sambil memasang kancing celana jinsnya. “Cuma ada seminar saja,” jelasnya sembari mengeluarkan sabuk kulit suede berwarna cokelat muda dari dalam lemari dan mulai melingkarkannya di pinggangnya. Aku hanya mengangguk-angguk, mencoba untuk mencari topic lain, dan yang keluar dari mulutku adalah, “Kenapa aku ada di sini?” “Kamu nggak ingat?” tanyanya sambil bertolak pinggang dan mengerutkan dahi. Aku tidak memberikan jawaban, tetapi hanya diam, menunggu penjelasannya. “Aku temuin kamu lagi teller di lift dan aku bawa kamu ke sini,” jelas Kafka. “Kenapa harus ke sini? Kenapa dia tidak mengantarku kembali ke kamarku? Itulah pertanyaan selanjutnya yang muncul di kepalaku. Aku menyadari bahwa aku sudah menyinggung perasaannya ketika dia berkata, “Kamu pikir aku laki-laki model apa?” Aku sebetulnya ada beberapa kata-kata seperti “Sialan”,”tidak punya hati”, dan lain-lain, yang bisa kugunakan untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi mendengar nada tajamnya aku memilih untuk diam. “Nggak mungkin, kan,aku ngebiarin kamu ngerusak reputasi good girl kamu yang ditemukan tidak sadar diri dan bau alcohol di dalam lift hotel? Lagian juga aku nggak tahu nomor kamar kamu, aku Cuma tahu kamu tamu di sini, soalnya aku nemuin kartu kunci kamar hotel ini di dalam tas kamu, jadi aku Cuma ngambil keputusan yang menurutku paling benar saat itu,” lanjut Kafka. Kuanggukan kepalaku, lebih karena aku masih terlalu pusing untuk adu mulut dengannya daripada karena aku menerima alasan yang telah dikemukakannya. Kafka mengusap-usap dagunya sambil menatapku dengan ekspresi antara kesal dan terhibur. Tiba-tiba aku menyadari betapa anehnya keadaan ini dan mengucapkan satu-satunya hal yang muncul di kepalaku, “So, I’m gonna go. Nice to see you again.” Buru-buru kubuka pintu kamar hotel itu, melangkah ke lorong dan berjalan secepat mungkin tanpa berlari ke arah kanan. Tetapi aku langsung menghentikan langkahku dan memutar tubuh. “Nad, kamu mau kemana?” Tanya Kafka dengan suara dan wajah yang terlihat agak sedikit bingung. “Ke lift,” jawabku pendek dan memutar tubuhku untuk kembali berjalan ke arah yang tadi sedang kutuju ketika kudengar suara Kafka lagi. “Kamu salah arah, Nad,” Mendengar kata-kata itu sekali lagi kuhentikan langkahku dan menatap sumbernya. “Liftnya di sebelah sana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari arah yang telah kuambil. Aku menahan diri untuk tidak menggeram dan tersenyum simpul kepada Kafka, lalu mulai berjalan ke arah yang di tunjukkannya. Ketika aku melewati Kafka, sekali lagi langkahku terhenti oleh kata-katanya. “Omong-omong ini kayaknya punya kamu deh. Soalnya jelas-jelas ini bukan punya aku. Not my style.”
Dia sedang menggenggam clutch berwarna emas yang kubawa tadi malam. Kuulurkan tangan untuk mengambil clutch itu dari genggamannya ketika tiba-tiba Kafka menarik pergelangan tanganku. Aku terpekik karena terkejut, sedangkan Kafka hanya tersenyum dan meletakkan clutch itu di dalam telapak tanganku yang terbuka sebelum kemudian menyelubungi tanganku dengan kedua tanganku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap tanganku yang ukurannya relatif kecil, yang kini hampir tidak kelihatan di dalam genggaman kedua tangannya yang besar. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian menunduk dan mencium pipi kananku. ***
Setelah merasa cukup aman berada di dalam lift yang kosong, kukenakan sepatuku kembali. Melalui lift ini setidak-tidaknya aku tahu bahwa tebakanku benar. Aku memang masih berada di dalam hotelku tetapi sekitar tiga lantai lebih rendah dibandingkan kamar hotelku. Selama perjalanan menuju lantai enam kuputar otakku untuk mencari penjelasan bagaimana aku bisa berakhir di kamar Kafka, tetapi ingatanku masih kabur. Kucoba untuk menenangkan jantungku yang berdetak dengan suara yang cukup keras dan tempo yang tidak bisa terkendali . tetapi setidak-tidaknya sakit kepalaku sudah sedikit reda, hingga ketika kusadari satu hal yang sudah aku coba kesampingkan dengan paksa selama beberapa menit ini karena aku belum sanggup untuk menghadapinya, yaitu bahwa ada kemungkinan besar aku tadi malam bercinta dengan… kutarik napas dalam-dalam mencoba menahan sakit kepala yang sepertinya akan kambuh lagi. Dengan Kafka. Aku bercinta dengan Kafka? Apa mungkin? Nggak mungkin. Tapi… aggghhh… bencana! Ini bencana. Setidak-tidaknya aku berharap bahwa dia memiliki kesadaran untuk mengenakan pelindung karena sekarang bukan waktu yang tepat untukku untuk berhubungan seksual tanpa menggunakan pelindungan. Kalau betul-betul sial, aku bisa hamil. SHIT. Sepanjang hidupku aku hanya pernah bercinta satu kali dan tanpa perlindungan, yaitu dengan Jimmy, pacar keduaku. Untungnya peristiwa itu tidak membuatku hamil. Yang aku ingat dari pengalaman pertamaku itu adalah bahwa aku cinta mati dengannya sehingga rela melakukan apa saja untuknya. Tapi, ternyata Jimmy menyerangku dengan ganas. Alhasil, hubungan yang telah aku jalin dengannya selama hampir dua tahun terpaksa aku akhiri seminggu kemudian karena aku tahu hakku sebagai seorang wanita untuk memutuskan bahwa tidak ada laki-laki mana pun yang berhak mengobrak-abrik diriku atas nama cinta. Setelah kejadian itu aku berjanji untuk tidak akan pernah bercinta lagi dengan laki-laki mana pun sampai aku menikah. Aku tahu bahwa kalau sampai orangtuaku, kedua kakakku, dan sobat-sobatku (kecuali Jana yang kemungkinan besar kehilangan keperawanannya pada saat yang bersamaan denganku, tapi di benua berbeda) tahu bahwa aku bukan perawan lagi dalam usia yang bisa dibilang relative muda, mereka pasti akan terkejut dan sangat kecewa. Itu sebabnya aku tidak pernah bercerita apa-apa kepada mereka. Tetapi aku tahu bahwa orang-orang terdekatku ini tidak buta, meskipun mereka tidak pernah dan tidak akan pernah menanyakannya padaku. Sejujurnya, aku telah diajari oleh orangtuaku bahwa bercinta di luar nikah itu tabu. Dan aku ingin menjaga statusku agar tidak kelihatan seperti perempuan gampangan. Untungnya aku tidak perlu khawatir gosip mengenai hilangnya keperawananku tersebar, karena sejujurnya, kalaupun gosip itu ada, aku rasa tidak akan ada orang yang percaya. Aku bisa membayangkan kata-kata apa yang akan keluar dari mulut mereka semua.
“Nadia? Sudah nggak perawan? Nggak mungkin.” “Nadia? Seks? Gue rasa tuh anak mungkin nggak tahu seks itu apa.” “Nggak mungkinlah dia sudah ML sama cowoknya di luar nikah. Dia bukan tipe perempuan kayak gitu, lagi.” Kalau saja orang-orang ini tahu yang sebenarnya, mereka mungkin akan sama kagetnya seperti keluarga dan sobat-sobatku. Ya ampuuu…nnn Tiba-tiba aku teringat pada STD, alias Sexually Transmited Diseases- penyakit menular seksual. Bagaimana mungkin tiga huruf yang seharusnya tidak berarti apa-apa itu bisa membuat bulu di tengkukku langsung berdiri? Aku membuat catatan di dalam kepalaku untuk pergi cek kesehatan begitu aku sampai di Jakarta lagi. Aku akan bunuh Kafka kalau sampai dokter menemukan hal-hal yang aneh, entah itu penyakit kelamin, AIDS, apalagi bayi di dalam tubuhku. Aggghhh… amit-amit jabang bayi. Kututup mataku beberapa detik dalam usaha menenangkan diriku, dan ketika pintu lift terbuka lagi kukeluarkan kartu kunci kamar hotel dari dalam clutch-ku. Setidak-tidaknya aku masih ingat di mana aku menyimpan kartu kunci itu. Seperti kartu kunci kamar hotel pada umumnya, kartu kunci ini tidak mencetak nomor kamar untuk keselamatan tamu hotel seandainya kartu kunci ini jatuh ke tangan yang salah. Itu sebabnya kenapa Kafka tidak bisa mengantarku kembali ke kamarku karena dia memang tidak bisa tahu nomor kamarku. Sambil masih bingung dengan kejadian pagi ini, kucoba untuk membuka pintu kamarku sepelan mungkin agar tidak membangunkan teman-temanku. Tanpa kusangka-sangka pintu itu ditarik dari dalam dan aku hampir saja jatuh tersungkur karena tanganku masih menggenggam gagang pintu. “Ya ampun, Nad, lo ke mana sih tadi malam?” meskipun Adri sedang berbisik tetapi aku bisa merasakan adanya nada hampir histeris di belakang bisikan itu. “Gue telepon Hp lo berkali-kali tapi lo nggak angkat,” lanjutnya. Di antara ketiga sobatku, sebetulnya aku paling tidak mengenal Adri kalau dihitung dari lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama. Adri baru-baru ini saja kembali dari Amerika, tempat dia bermukim semenjak SMA. Tapi selalu ada satu hal yang bisa kuandalkan dari Adri, yaitu kepeduliannya pada orang lain. Untuk hal yang satu itu, dia tidak pernah berubah semenjak SMP. “Yang lain ke mana?” tanyaku sambil berbisik juga dan melangkah masuk ke dalam kamar sebelum kemudian menutup pintu. “Dara baru saja tidur, habis nungguin elo nggak balik-balik juga. Kalau Jana, gue nggak yakin tuh anak bakalan bisa bangun sebelum tengah hari,” lapor Adri mengenai keadaan kedua sobatku yang lain sambil terkikik. Dara adalah sobatku yang paling dekat, tapi lain dengan Adri, dia tidak bisa diandalkan bahkan hanya untuk memastikan agar aku tetap sadar di bar semalam.
Kedatangan kami ke Bali memang untuk merayakan status baru Jana sebagai calon pengantin kurang dari tiga bulan lagi. Aku, Adri, dan Dara memang sudah berniat dari awal untuk membujuk Jana, seorang perawan kalau sudah urusan alcohol, untuk minum sebanyak-banyaknya. Kapan lagi dia bisa melakukan hal itu kalau dia sudah menikah dengan calon suaminya yang berasal dari keluarga paling uptight yang pernah aku temui? Aku yakin mereka tidak akan memperbolehkan Jana bertingkah laku tidak senonoh sama sekali. Jana adalah satu-satunya sobatku yang hingga sekarang tidak pernah bisa kupahami betul jalan pikirannya. Dia adalah tipe orang yang selalu melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh orang lain darinya. Intinya dia tidak pernah bisa ditebak. “Berapa banyak martini sih yang dia minum?” tanyaku sambil melepaskan sepatuku dan melangkah
masuk ke kamar mandi. “Gue sudah nggak ngitung lagi setelah yang kelima.” Adri pun melangkah masuk ke kamar mandi yang besar itu dan menutup pintu. Dia kemudian duduk di atas toilet yang sedang dalam keadaan tertutup. “Kita kayaknya bakalan dibantai sama lakinya kalau dia sampai tahu,” ucapku sambil menatap Adri yang kusadari kelihatan agak kuyu dan pucat. “Jangan bilang ke gue kalau lo nggak tidur semalaman karena nungguin gue deh?” lanjutku khawatir. “Nggak. Gue sudah tidur dan tadi dibangunin sama Dara jam lima,” jelas Adri. Aku pun mengembuskan napas lega. Aku betul-betul tidak berniat untuk membebani sobatku hanya karena keteledoranku yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Lalu aku menghadap ke cermin dan berteriak. “What? What?” Teriak Adri sambil melompat ke atas toilet dan melihat ke sekelilingnya dengan wajah panik. Kuputar tubuhku untuk menghadap Adri. “Lo ngapain berdiri di atas toilet?” tanyaku bingung. “Lha.. elo kenapa teriak?” balas Adri sambil bertolak pinggang. “Lo kok nggak ngomong ke gue sih kalau tampang gue kayak gini?” omelku sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjuk. Rambutku yang tadi malam kelihatan seksi dengan bantuan curling iron dan hair spray kini terlihat seperti rambut Kuntilanak. Selain itu, ada garis hitam di bawah kedua mataku akibat tidur dengan mascara, dan lipstikku yang berwarna merah sudah berpindah ke pipi kananku. Bagaimana mungkin Kafka tidak tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatku, anak perempuan yang selalu terlihat rapid an tidak akan pernah ditemukan dengan satu helai rambut pun yang salah tempat, berpenampilan seperti ini? Untungnya aku tidak bertemu dengan tamu lain ketika berada di dalam lift, karena aku tidak yakin bahwa mereka akan bisa mengontrol reaksi mereka sebaik Kafka. Adri mengembuskan napas. “Lo Cuma teriak gara-gara tampang lo? Gue sangkain lo lihat kecoak.” Perlahan-lahan Adri turun dari atas toilet. “Mana ada kecoak di hotel bintang lima?” balasku dengan nada agak sedikit tajam karena merasa sedikit tersinggung sebab Adri sepertinya tidak memedulikan keluhanku akan penampilanku. “Bisa saja kan kalau itu kecoak Hollywood,” bantah Adri sambil mendudukkan dirinya kembali di atas toilet dengan wajah sedikit kesal. Aku hanya menggeleng-geleng sambil mengikat rambutku dan mulai memercikkan air dingin pada wajahku. Perlahan-lahan pikiranku mulai jernih kembali. “By the way serius deh, elo ke mana sih tadi malam? Gue bilang ke elo supaya tunggu gue di depan pintu bar, gue masuk sebentar buat ambil tas. Eh… pas gue keluar elo sudah hilang,” ucap Adri dengan nada lebih serius. Adri yang memang tubuhnya sangat sensitive dengan alcohol, lebih memilih untuk minum Coca-cola tadi malam, sehingga mungkin hanya dia semalam yang masih sadar seratus persen. Sambil membersihkan wajahku dengan cleanser, sepotong demi sepotong kejadian tadi malam mulai kembali lagi padaku. Aku memang sedang berdiri sambil menyandarkan punggung pada pintu kaca masuk bar dan menunggu hingga Adri kembali. Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku bisa kembali ke kamar sendiri, tapi Adri tetap bersikeras untuk mengantarku. Perutku masih terasa agak sedikit mual yang kemungkinan besar disebabkan oleh tiga gelas martini yang aku minum satu jam yang lalu tanpa henti. Itulah sebabnya kenapa aku mau kembali ke kamar lebih dulu. Setelah menunggu selama lima menit dan Adri masih belum muncul juga, aku memutuskan untuk menuju ke kamar hotelku sendiri. Alcohol di dalam darahku sepertinya tidak memengaruhi penglihatan
ataupun pikiranku, hanya perutku dan aku berhasil masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong tanpa mengalami kendala apa pun. Tetapi ketika aku mencoba untuk menekan tombol lantai di dalam lift, pandanganku tiba-tiba kabur. Kukedipkan mataku berkali-kali dan mencoba membuka lebar kelopak mataku agar bisa melihat dengan lebih jelas, tapi tetap tidak berhasil. Penglihatanku semakin kabur dan aku harus menyandarkan punggung pada salah satu dinding lift karena tiba-tiba aku sepertinya kehilangan keseimbangan yang disusul dengan serangan vertigo yang cukup dahsyat. Saat itu aku baru betul-betul merasakan efek penuh dari alcohol di dalam darahku.
Selanjutnya yang kuingat adalah seseorang yang tidak aku kenal, yang kini aku tahu sebagai Kafka, memapahku berjalan melalui lorong kamar hotel. Aku ingat bahwa aku sempat mencoba menyanyikan lirik lagu Wannabe ketika sedang dipapah dan kudengar suara tawa Kafka. Andaikan bisa memutar balik waktu, aku akan kembali ke enam jam yang lalu dan memilih untuk menunggu hingga Adri kembali untuk mengantarku kembali ke kamar. Terutama ketika mengingat kata-kata yang keluar dari mulutku. “I tell you what, what I really want. So tell me what you want what you really really want,” teriakku dengan cukup kencang. “Ssshhh, jangan kencang-kencang. Ini sudah malam,” ucap Kafka mencoba memperingatkan aku. Tapi dari nadanya sepertinya dia sedang menahan tawa. “Ini bukan malam lagi, tapi sudah pagi,” balasku lalu mulai cekikikan. Kudengar Kafka ikut terkikik mendengar komentarku. “If you wanna be my lover you gotta get with my friends.” “Husss,” sekali lagi Kafka mencoba mengingatkanku agar menurunkan suaraku. Kuulangi baris lagu Spice Girls itu tetapi sambil berbisik, “If you wanna be my lover you gotta get with my friends.” Pada saat itu langkahku terhenti. Kafka pun terpaksa menghentikan langkahnya jika tidak mau terpaksa menggeretku. “Kenapa?” tanyanya dengan ekspresi agak khawatir ketika melihat wajahku yang mungkin kelihatan superbingung. “Teman-temanku masih di bae,” ucapku. “Kamu di sini sama teman-teman kamu?” Aku mengangguk dengan semangat yang langsung membuatku pusing dan mungkin akan jatuh terjerembab kalau Kafka tidak sedang melingkarkan lengan kanannya pada pinggangku. “Nanti aku bilangin ke teman-teman kamu kalau kamu ada sama aku ya,” kata Kafka sambil mulai menarikku untuk kembali berjalan. “Kamu kenal sama mereka?” “Iya,” jawab Kafka pendek. “Hahaha… kamu ngaco ngomongnya. Kamu nggak mungkin kenal sama mereka, soalnya mereka nggak pernah ketemu kamu,” ucapku sambil tertawa. “Kamu nggak usah khawatir soal itu. Aku pasti bisa ngenalin mereka.” “Oh ya? Gimana bisa?” tanyaku mencoba untuk memfokuskan diri pada percakapan ini. “Karena pasti gayanya kayak kamu, kan?” Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban itu dan entah bagaimana tetapi aku tidak menemukan adanya kejanggalan dari kata-katanya itu, sehingga aku hanya mengangguk sambil mencoba memerintahkan kedua kakiku agar tetap melangkah.

“Who are you anyway?” tanyaku padanya. “Kamu nggak kenal aku?” Tanya Kafka dengan nada serius. Kugelengkan kepalaku. “I’am Jesus,” ucap Kafka masih dengan wajah serius. Dan meledaklah tawaku, diikuti tawa terkekeh-kekeh dari Kafka. Aku tidak menyangka bahwa penolongku itu bisa ngelawak juga ternyata. Kami lalu kembali melangkah menuju entah kemana. Tanpa kusadari aku sudah mulai menyenandungkan lagu Spice Girls yang lain. Kemungkinan besar adalah Spice Up Your Life. “Kamu suka Spice Girls, ya?” Tanya Kafka ketika mencoba untuk membuka pintu kamar hotelnya sambil menopangkan agar tidak merosot dari pelukannya. “Siapa coba yang nggak suka Spice Girls? They’re the best,” ucapku. Setidak-tidaknya itulah kata-kata yang aku coba ucapkan, tetapi sepertinya lidahku tidak mau bekerja sama sehingga aku tidak bisa mengucapkan kata-kataku dengan jelas. “Sudah nggak suka New Kids on the Block lagi?” “Masih dooo…ng. they’re the best of the best,” balasku. Dan setelah agak lama aku menambahkan. “I love, love, love them,” yang disambut gelak tawa Kafka. “I suppose they were wicked,” balas Kafka sambil masih tertawa. Entah kenapa tapi bahasa Inggris yang di gunakan Kafka terdengar agak lain dari yang biasa kudengar, sehingga membuatku tertawa. Kafka telah berhasil membuka pintu kamar dan memapahku masuk ke dalam. “Waaahhh… tempat tidur kamu besar,” ucapku dan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Kafka lalu melangkah kearah tempat tidur. Tanpa menunggu undangan aku langsung merangkak naik ke atasnya dan merebahkan tubuh dengan masih mengenakan semua pakaian, termasuk sepatu. Tempat tidur itu nyaman sekali dengan sisa-sisa aroma parfum laki-laki. Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan suara yang cukup keras. “Bantal. Aku mau bantal,” teriakku dan dua bantal besar muncul di sebelah kiri dan kananku. Aku merasakan seseorang sedang melepaskan sepatuku sebelum kemudian menarik bed cover untuk menyelimuti tubuhku. “Mmmhhh… thank you,” ucapku. “You’re welcome,” balas Kafka sebelum kemudian duduk di sampingku dan membelai rambutku. “You’re nice,” gumamku, dan kurasa aku langsung tertidur setelah itu karena aku tidak ingat apa-apa lagi. Tetapi kalau aku langsung tidur pada saat itu juga dengan masih mengenakan semua pakaianku, bagaimana mungkin aku terbangun hanya dengan pakaian dalam? Aku harus pergi menemui Kafka lagi nanti untuk meminta penjelasannya atas kejadian tadi malam. Tiba-tiba tubuhku terasa panas-dingin. Bagaimana mungkin setelah dua puluh tahun ini aku masih merasa takut untuk bertemu dengan Kafka?


No comments:

Post a Comment