Bab
1
27 Agustus
Siapa sangka gue bakal ketemu dia lagi? Kenapa harus sekarang? Gue
pakai bikin malu diri sendiri di depan dia pula. Gue nggak tahu mau dikemanain
muka gue ini. Terus kenapa juga dia harus sok ramah sama gue sih? Toh gue sudah
tahu belangnya dari dulu-dulu. Dan gue yakin dia nggak banyak berubah. Oke, itu
nggak benar. Ada beberapa perubahan pada dirinya, terutama tampangnya dan
tubuhnya yang… ya ampun, gue mungkin bakal masuk neraka kalau mikirin tubuh it
uterus. Ermm… kalau dipikir lagi. Sebenarnya gue sekarang nggak Cuma “Mungkin”
masuk neraka. Gue memang sudah di neraka *** “Ya ampun… apa kabar?” tanyaku
sambil perlahan-lahan mengambil langkah untuk mendekatinya. Hanya Kafka yang
akan memanggilku Nad-Nad. Walaupun dulu dia akan mengatakannya dengan nada
mengejek sehingga lebih terdengar seperti “Nyat-Nyat”. Aku masih tidak
menyangka bahwa laki-laki yang sekarang berdiri di hadapanku hanya dengan
menggunakan handuk adalah anak laki-laki yang paling kubenci sepanjang hayatku.
Kafka tertawa mendengar nadaku yang betul-betul terdengar terkejut ketika
melihatnya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Kamu gimana?” tanyanya balik. “Aku
biasa saja,” balasku “Aku selalu mikir kamu pasti ada sisi liarnya, tapi aku
nggak nyangka anak emasnya sekolah kita ternyata suka clubbing dan minum.” Cara
Kafka mengatakannya tidak seperti orang yang sedang menilaiku. Dia benar-benar
terdengar terkejut bahkan sedikit penasaran. Liar? Apa aku tidak salah dengar?
Kafka menggunakan kata liar untuk menggambarkan diriku. Aku tidak tahu apakah
aku harus merasa tersinggung atau tersanjung dengan kata itu. Pada saat yang
bersamaan, aku mencoba memutuskan dari mana dia tahu bahwa aku memang pergi
clubbing tadi malam? Tetapi kemudian aku menyadari bahwa pakaian yang kukenakan
pada dasarnya sudah meneriakkan statusnya sebagai pakaian clubbing dengan
glitter yang bisa membutakan mata kalau dipandang terlalu lama. “Ooohhh… ini
Cuma jarang-jarang saja kok. Aku nggak banyak berubah. Masih tetap kutu buku
dan ngebosenin.” “Kamu nggak pernah ngebosenin dan style kutu buku kamu itu
malah bikin aku selalu penasaran sama kamu.” Kafka lalu membuka lemari pakaian
yang ada di sebelah kanannya dan narik sehelai kaus putih, sehingga dia tidak
melihat ekspresi wajahku yang sedang menatapnya dengan mulut terbuka. Kalau
saja kata-kata itu diucapkan dengan nada lain, aku mungkin tidak akan merasa
ge-er, tetapi cara Kafka mengucapkannya seakan-akan dia sedang mengujiku. Nggak…
nggak mungkin. Aku pasti sudah salah dengar. Kafka tidak memiliki kemampuan
untuk menguji orang, dia hanya bisa mengejek. Tanpa memedulikan diriku yang
masih berdiri di hadapannya Kafka mengenakan kaus putih itu dan aku harus
menutup mataku ketika dia melepaskan handuk yang mengelilingi pinggulnya.
Tetapi ketika aku mengintip dia ternyata sudah mengenakan celana dalam jenis
boxer-briefs berwarna hitam di bawah handuk itu. Aku mencoba menahan diri agar
tidak mendengus karena menyadari kekonyolanku yang sudah berpikir terlalu jauh.
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku mencoba mengisi keheningan. Meskipun sudah
ingin melarikan diri dari hadapan Kafka, tetapi aku telah dibesarkan untuk
mengutamakan tata krama jika bertemu dengan
orang
yang kita kenal. Meskipun orang tersebut adalah Kafka si anak sialan itu. “Di
hotel ini maksud kamu?” balas Kafka sambil menarik jins yang di gantung di
dalam lemari sebelum mengenakannya. Saat itu aku menyadari betapa gobloknya
pertanyaanku itu. Mencoba menutupi kesalahanku, aku menambahkan, “Bukan,
maksudku di… uhm… di…” aku berusaha sebisa mungkin mengingat-ingat dimana aku
berada, tetapi tidak satu nama pun muncul di kepalaku. “Di Bali?” Kafka mencoba
membantuku. “Iya… di Bali,” teriakku antusias. Kafka hanya menggeleng sambil
memasang kancing celana jinsnya. “Cuma ada seminar saja,” jelasnya sembari
mengeluarkan sabuk kulit suede berwarna cokelat muda dari dalam lemari dan
mulai melingkarkannya di pinggangnya. Aku hanya mengangguk-angguk, mencoba
untuk mencari topic lain, dan yang keluar dari mulutku adalah, “Kenapa aku ada
di sini?” “Kamu nggak ingat?” tanyanya sambil bertolak pinggang dan mengerutkan
dahi. Aku tidak memberikan jawaban, tetapi hanya diam, menunggu penjelasannya.
“Aku temuin kamu lagi teller di lift dan aku bawa kamu ke sini,” jelas Kafka.
“Kenapa harus ke sini? Kenapa dia tidak mengantarku kembali ke kamarku? Itulah
pertanyaan selanjutnya yang muncul di kepalaku. Aku menyadari bahwa aku sudah
menyinggung perasaannya ketika dia berkata, “Kamu pikir aku laki-laki model
apa?” Aku sebetulnya ada beberapa kata-kata seperti “Sialan”,”tidak punya
hati”, dan lain-lain, yang bisa kugunakan untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi
mendengar nada tajamnya aku memilih untuk diam. “Nggak mungkin, kan,aku
ngebiarin kamu ngerusak reputasi good girl kamu yang ditemukan tidak sadar diri
dan bau alcohol di dalam lift hotel? Lagian juga aku nggak tahu nomor kamar
kamu, aku Cuma tahu kamu tamu di sini, soalnya aku nemuin kartu kunci kamar
hotel ini di dalam tas kamu, jadi aku Cuma ngambil keputusan yang menurutku
paling benar saat itu,” lanjut Kafka. Kuanggukan kepalaku, lebih karena aku
masih terlalu pusing untuk adu mulut dengannya daripada karena aku menerima
alasan yang telah dikemukakannya. Kafka mengusap-usap dagunya sambil menatapku
dengan ekspresi antara kesal dan terhibur. Tiba-tiba aku menyadari betapa
anehnya keadaan ini dan mengucapkan satu-satunya hal yang muncul di kepalaku,
“So, I’m gonna go. Nice to see you again.” Buru-buru kubuka pintu kamar hotel
itu, melangkah ke lorong dan berjalan secepat mungkin tanpa berlari ke arah
kanan. Tetapi aku langsung menghentikan langkahku dan memutar tubuh. “Nad, kamu
mau kemana?” Tanya Kafka dengan suara dan wajah yang terlihat agak sedikit
bingung. “Ke lift,” jawabku pendek dan memutar tubuhku untuk kembali berjalan
ke arah yang tadi sedang kutuju ketika kudengar suara Kafka lagi. “Kamu salah
arah, Nad,” Mendengar kata-kata itu sekali lagi kuhentikan langkahku dan
menatap sumbernya. “Liftnya di sebelah sana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah
yang berlawanan dari arah yang telah kuambil. Aku menahan diri untuk tidak
menggeram dan tersenyum simpul kepada Kafka, lalu mulai berjalan ke arah yang
di tunjukkannya. Ketika aku melewati Kafka, sekali lagi langkahku terhenti oleh
kata-katanya. “Omong-omong ini kayaknya punya kamu deh. Soalnya jelas-jelas ini
bukan punya aku. Not my style.”
Dia
sedang menggenggam clutch berwarna emas yang kubawa tadi malam. Kuulurkan
tangan untuk mengambil clutch itu dari genggamannya ketika tiba-tiba Kafka
menarik pergelangan tanganku. Aku terpekik karena terkejut, sedangkan Kafka
hanya tersenyum dan meletakkan clutch itu di dalam telapak tanganku yang
terbuka sebelum kemudian menyelubungi tanganku dengan kedua tanganku dengan
kedua tangannya. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap tanganku yang ukurannya
relatif kecil, yang kini hampir tidak kelihatan di dalam genggaman kedua
tangannya yang besar. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian menunduk dan mencium
pipi kananku. ***
Setelah merasa cukup aman
berada di dalam lift yang kosong, kukenakan sepatuku kembali. Melalui lift ini
setidak-tidaknya aku tahu bahwa tebakanku benar. Aku memang masih berada di
dalam hotelku tetapi sekitar tiga lantai lebih rendah dibandingkan kamar
hotelku. Selama perjalanan menuju lantai enam kuputar otakku untuk mencari
penjelasan bagaimana aku bisa berakhir di kamar Kafka, tetapi ingatanku masih
kabur. Kucoba untuk menenangkan jantungku yang berdetak dengan suara yang cukup
keras dan tempo yang tidak bisa terkendali . tetapi setidak-tidaknya sakit
kepalaku sudah sedikit reda, hingga ketika kusadari satu hal yang sudah aku
coba kesampingkan dengan paksa selama beberapa menit ini karena aku belum
sanggup untuk menghadapinya, yaitu bahwa ada kemungkinan besar aku tadi malam
bercinta dengan… kutarik napas dalam-dalam mencoba menahan sakit kepala yang
sepertinya akan kambuh lagi. Dengan Kafka. Aku bercinta dengan Kafka? Apa
mungkin? Nggak mungkin. Tapi… aggghhh… bencana! Ini bencana. Setidak-tidaknya
aku berharap bahwa dia memiliki kesadaran untuk mengenakan pelindung karena
sekarang bukan waktu yang tepat untukku untuk berhubungan seksual tanpa
menggunakan pelindungan. Kalau betul-betul sial, aku bisa hamil. SHIT.
Sepanjang hidupku aku hanya pernah bercinta satu kali dan tanpa perlindungan,
yaitu dengan Jimmy, pacar keduaku. Untungnya peristiwa itu tidak membuatku
hamil. Yang aku ingat dari pengalaman pertamaku itu adalah bahwa aku cinta mati
dengannya sehingga rela melakukan apa saja untuknya. Tapi, ternyata Jimmy
menyerangku dengan ganas. Alhasil, hubungan yang telah aku jalin dengannya
selama hampir dua tahun terpaksa aku akhiri seminggu kemudian karena aku tahu
hakku sebagai seorang wanita untuk memutuskan bahwa tidak ada laki-laki mana
pun yang berhak mengobrak-abrik diriku atas nama cinta. Setelah kejadian itu
aku berjanji untuk tidak akan pernah bercinta lagi dengan laki-laki mana pun
sampai aku menikah. Aku tahu bahwa kalau sampai orangtuaku, kedua kakakku, dan
sobat-sobatku (kecuali Jana yang kemungkinan besar kehilangan keperawanannya
pada saat yang bersamaan denganku, tapi di benua berbeda) tahu bahwa aku bukan
perawan lagi dalam usia yang bisa dibilang relative muda, mereka pasti akan
terkejut dan sangat kecewa. Itu sebabnya aku tidak pernah bercerita apa-apa
kepada mereka. Tetapi aku tahu bahwa orang-orang terdekatku ini tidak buta,
meskipun mereka tidak pernah dan tidak akan pernah menanyakannya padaku.
Sejujurnya, aku telah diajari oleh orangtuaku bahwa bercinta di luar nikah itu
tabu. Dan aku ingin menjaga statusku agar tidak kelihatan seperti perempuan
gampangan. Untungnya aku tidak perlu khawatir gosip mengenai hilangnya
keperawananku tersebar, karena sejujurnya, kalaupun gosip itu ada, aku rasa
tidak akan ada orang yang percaya. Aku bisa membayangkan kata-kata apa yang
akan keluar dari mulut mereka semua.
“Nadia?
Sudah nggak perawan? Nggak mungkin.” “Nadia? Seks? Gue rasa tuh anak mungkin
nggak tahu seks itu apa.” “Nggak mungkinlah dia sudah ML sama cowoknya di luar
nikah. Dia bukan tipe perempuan kayak gitu, lagi.” Kalau saja orang-orang ini
tahu yang sebenarnya, mereka mungkin akan sama kagetnya seperti keluarga dan
sobat-sobatku. Ya ampuuu…nnn Tiba-tiba aku teringat pada STD, alias Sexually
Transmited Diseases- penyakit menular seksual. Bagaimana mungkin tiga huruf
yang seharusnya tidak berarti apa-apa itu bisa membuat bulu di tengkukku
langsung berdiri? Aku membuat catatan di dalam kepalaku untuk pergi cek
kesehatan begitu aku sampai di Jakarta lagi. Aku akan bunuh Kafka kalau sampai
dokter menemukan hal-hal yang aneh, entah itu penyakit kelamin, AIDS, apalagi
bayi di dalam tubuhku. Aggghhh… amit-amit jabang bayi. Kututup mataku beberapa
detik dalam usaha menenangkan diriku, dan ketika pintu lift terbuka lagi
kukeluarkan kartu kunci kamar hotel dari dalam clutch-ku. Setidak-tidaknya aku
masih ingat di mana aku menyimpan kartu kunci itu. Seperti kartu kunci kamar
hotel pada umumnya, kartu kunci ini tidak mencetak nomor kamar untuk
keselamatan tamu hotel seandainya kartu kunci ini jatuh ke tangan yang salah.
Itu sebabnya kenapa Kafka tidak bisa mengantarku kembali ke kamarku karena dia
memang tidak bisa tahu nomor kamarku. Sambil masih bingung dengan kejadian pagi
ini, kucoba untuk membuka pintu kamarku sepelan mungkin agar tidak membangunkan
teman-temanku. Tanpa kusangka-sangka pintu itu ditarik dari dalam dan aku
hampir saja jatuh tersungkur karena tanganku masih menggenggam gagang pintu.
“Ya ampun, Nad, lo ke mana sih tadi malam?” meskipun Adri sedang berbisik
tetapi aku bisa merasakan adanya nada hampir histeris di belakang bisikan itu.
“Gue telepon Hp lo berkali-kali tapi lo nggak angkat,” lanjutnya. Di antara
ketiga sobatku, sebetulnya aku paling tidak mengenal Adri kalau dihitung dari
lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama. Adri baru-baru ini saja kembali
dari Amerika, tempat dia bermukim semenjak SMA. Tapi selalu ada satu hal yang
bisa kuandalkan dari Adri, yaitu kepeduliannya pada orang lain. Untuk hal yang
satu itu, dia tidak pernah berubah semenjak SMP. “Yang lain ke mana?” tanyaku
sambil berbisik juga dan melangkah masuk ke dalam kamar sebelum kemudian
menutup pintu. “Dara baru saja tidur, habis nungguin elo nggak balik-balik
juga. Kalau Jana, gue nggak yakin tuh anak bakalan bisa bangun sebelum tengah
hari,” lapor Adri mengenai keadaan kedua sobatku yang lain sambil terkikik.
Dara adalah sobatku yang paling dekat, tapi lain dengan Adri, dia tidak bisa
diandalkan bahkan hanya untuk memastikan agar aku tetap sadar di bar semalam.
Kedatangan kami ke Bali memang
untuk merayakan status baru Jana sebagai calon pengantin kurang dari tiga bulan
lagi. Aku, Adri, dan Dara memang sudah berniat dari awal untuk membujuk Jana,
seorang perawan kalau sudah urusan alcohol, untuk minum sebanyak-banyaknya.
Kapan lagi dia bisa melakukan hal itu kalau dia sudah menikah dengan calon
suaminya yang berasal dari keluarga paling uptight yang pernah aku temui? Aku
yakin mereka tidak akan memperbolehkan Jana bertingkah laku tidak senonoh sama
sekali. Jana adalah satu-satunya sobatku yang hingga sekarang tidak pernah bisa
kupahami betul jalan pikirannya. Dia adalah tipe orang yang selalu melakukan
hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh orang lain
darinya. Intinya dia tidak pernah bisa ditebak. “Berapa banyak martini sih yang
dia minum?” tanyaku sambil melepaskan sepatuku dan melangkah
masuk
ke kamar mandi. “Gue sudah nggak ngitung lagi setelah yang kelima.” Adri pun
melangkah masuk ke kamar mandi yang besar itu dan menutup pintu. Dia kemudian
duduk di atas toilet yang sedang dalam keadaan tertutup. “Kita kayaknya bakalan
dibantai sama lakinya kalau dia sampai tahu,” ucapku sambil menatap Adri yang
kusadari kelihatan agak kuyu dan pucat. “Jangan bilang ke gue kalau lo nggak
tidur semalaman karena nungguin gue deh?” lanjutku khawatir. “Nggak. Gue sudah
tidur dan tadi dibangunin sama Dara jam lima,” jelas Adri. Aku pun mengembuskan
napas lega. Aku betul-betul tidak berniat untuk membebani sobatku hanya karena
keteledoranku yang tidak bisa menjaga diri sendiri. Lalu aku menghadap ke cermin
dan berteriak. “What? What?” Teriak Adri sambil melompat ke atas toilet dan
melihat ke sekelilingnya dengan wajah panik. Kuputar tubuhku untuk menghadap
Adri. “Lo ngapain berdiri di atas toilet?” tanyaku bingung. “Lha.. elo kenapa
teriak?” balas Adri sambil bertolak pinggang. “Lo kok nggak ngomong ke gue sih
kalau tampang gue kayak gini?” omelku sambil menunjuk wajahku dengan jari
telunjuk. Rambutku yang tadi malam kelihatan seksi dengan bantuan curling iron
dan hair spray kini terlihat seperti rambut Kuntilanak. Selain itu, ada garis
hitam di bawah kedua mataku akibat tidur dengan mascara, dan lipstikku yang
berwarna merah sudah berpindah ke pipi kananku. Bagaimana mungkin Kafka tidak
tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatku, anak perempuan yang selalu
terlihat rapid an tidak akan pernah ditemukan dengan satu helai rambut pun yang
salah tempat, berpenampilan seperti ini? Untungnya aku tidak bertemu dengan
tamu lain ketika berada di dalam lift, karena aku tidak yakin bahwa mereka akan
bisa mengontrol reaksi mereka sebaik Kafka. Adri mengembuskan napas. “Lo Cuma
teriak gara-gara tampang lo? Gue sangkain lo lihat kecoak.” Perlahan-lahan Adri
turun dari atas toilet. “Mana ada kecoak di hotel bintang lima?” balasku dengan
nada agak sedikit tajam karena merasa sedikit tersinggung sebab Adri sepertinya
tidak memedulikan keluhanku akan penampilanku. “Bisa saja kan kalau itu kecoak
Hollywood,” bantah Adri sambil mendudukkan dirinya kembali di atas toilet
dengan wajah sedikit kesal. Aku hanya menggeleng-geleng sambil mengikat
rambutku dan mulai memercikkan air dingin pada wajahku. Perlahan-lahan
pikiranku mulai jernih kembali. “By the way serius deh, elo ke mana sih tadi
malam? Gue bilang ke elo supaya tunggu gue di depan pintu bar, gue masuk
sebentar buat ambil tas. Eh… pas gue keluar elo sudah hilang,” ucap Adri dengan
nada lebih serius. Adri yang memang tubuhnya sangat sensitive dengan alcohol,
lebih memilih untuk minum Coca-cola tadi malam, sehingga mungkin hanya dia
semalam yang masih sadar seratus persen. Sambil membersihkan wajahku dengan
cleanser, sepotong demi sepotong kejadian tadi malam mulai kembali lagi padaku.
Aku memang sedang berdiri sambil menyandarkan punggung pada pintu kaca masuk
bar dan menunggu hingga Adri kembali. Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku
bisa kembali ke kamar sendiri, tapi Adri tetap bersikeras untuk mengantarku.
Perutku masih terasa agak sedikit mual yang kemungkinan besar disebabkan oleh
tiga gelas martini yang aku minum satu jam yang lalu tanpa henti. Itulah
sebabnya kenapa aku mau kembali ke kamar lebih dulu. Setelah menunggu selama
lima menit dan Adri masih belum muncul juga, aku memutuskan untuk menuju ke
kamar hotelku sendiri. Alcohol di dalam darahku sepertinya tidak memengaruhi
penglihatan
ataupun
pikiranku, hanya perutku dan aku berhasil masuk ke dalam lift yang kebetulan
kosong tanpa mengalami kendala apa pun. Tetapi ketika aku mencoba untuk menekan
tombol lantai di dalam lift, pandanganku tiba-tiba kabur. Kukedipkan mataku
berkali-kali dan mencoba membuka lebar kelopak mataku agar bisa melihat dengan
lebih jelas, tapi tetap tidak berhasil. Penglihatanku semakin kabur dan aku
harus menyandarkan punggung pada salah satu dinding lift karena tiba-tiba aku
sepertinya kehilangan keseimbangan yang disusul dengan serangan vertigo yang
cukup dahsyat. Saat itu aku baru betul-betul merasakan efek penuh dari alcohol
di dalam darahku.
Selanjutnya yang kuingat adalah
seseorang yang tidak aku kenal, yang kini aku tahu sebagai Kafka, memapahku
berjalan melalui lorong kamar hotel. Aku ingat bahwa aku sempat mencoba
menyanyikan lirik lagu Wannabe ketika sedang dipapah dan kudengar suara tawa
Kafka. Andaikan bisa memutar balik waktu, aku akan kembali ke enam jam yang
lalu dan memilih untuk menunggu hingga Adri kembali untuk mengantarku kembali
ke kamar. Terutama ketika mengingat kata-kata yang keluar dari mulutku. “I tell
you what, what I really want. So tell me what you want what you really really
want,” teriakku dengan cukup kencang. “Ssshhh, jangan kencang-kencang. Ini
sudah malam,” ucap Kafka mencoba memperingatkan aku. Tapi dari nadanya
sepertinya dia sedang menahan tawa. “Ini bukan malam lagi, tapi sudah pagi,”
balasku lalu mulai cekikikan. Kudengar Kafka ikut terkikik mendengar
komentarku. “If you wanna be my lover you gotta get with my friends.” “Husss,”
sekali lagi Kafka mencoba mengingatkanku agar menurunkan suaraku. Kuulangi
baris lagu Spice Girls itu tetapi sambil berbisik, “If you wanna be my lover
you gotta get with my friends.” Pada saat itu langkahku terhenti. Kafka pun terpaksa
menghentikan langkahnya jika tidak mau terpaksa menggeretku. “Kenapa?” tanyanya
dengan ekspresi agak khawatir ketika melihat wajahku yang mungkin kelihatan
superbingung. “Teman-temanku masih di bae,” ucapku. “Kamu di sini sama
teman-teman kamu?” Aku mengangguk dengan semangat yang langsung membuatku
pusing dan mungkin akan jatuh terjerembab kalau Kafka tidak sedang melingkarkan
lengan kanannya pada pinggangku. “Nanti aku bilangin ke teman-teman kamu kalau
kamu ada sama aku ya,” kata Kafka sambil mulai menarikku untuk kembali
berjalan. “Kamu kenal sama mereka?” “Iya,” jawab Kafka pendek. “Hahaha… kamu
ngaco ngomongnya. Kamu nggak mungkin kenal sama mereka, soalnya mereka nggak
pernah ketemu kamu,” ucapku sambil tertawa. “Kamu nggak usah khawatir soal itu.
Aku pasti bisa ngenalin mereka.” “Oh ya? Gimana bisa?” tanyaku mencoba untuk
memfokuskan diri pada percakapan ini. “Karena pasti gayanya kayak kamu, kan?”
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban itu dan entah bagaimana tetapi aku
tidak menemukan adanya kejanggalan dari kata-katanya itu, sehingga aku hanya
mengangguk sambil mencoba memerintahkan kedua kakiku agar tetap melangkah.
“Who
are you anyway?” tanyaku padanya. “Kamu nggak kenal aku?” Tanya Kafka dengan
nada serius. Kugelengkan kepalaku. “I’am Jesus,” ucap Kafka masih dengan wajah
serius. Dan meledaklah tawaku, diikuti tawa terkekeh-kekeh dari Kafka. Aku
tidak menyangka bahwa penolongku itu bisa ngelawak juga ternyata. Kami lalu
kembali melangkah menuju entah kemana. Tanpa kusadari aku sudah mulai
menyenandungkan lagu Spice Girls yang lain. Kemungkinan besar adalah Spice Up
Your Life. “Kamu suka Spice Girls, ya?” Tanya Kafka ketika mencoba untuk
membuka pintu kamar hotelnya sambil menopangkan agar tidak merosot dari
pelukannya. “Siapa coba yang nggak suka Spice Girls? They’re the best,” ucapku.
Setidak-tidaknya itulah kata-kata yang aku coba ucapkan, tetapi sepertinya
lidahku tidak mau bekerja sama sehingga aku tidak bisa mengucapkan kata-kataku
dengan jelas. “Sudah nggak suka New Kids on the Block lagi?” “Masih dooo…ng.
they’re the best of the best,” balasku. Dan setelah agak lama aku menambahkan.
“I love, love, love them,” yang disambut gelak tawa Kafka. “I suppose they were
wicked,” balas Kafka sambil masih tertawa. Entah kenapa tapi bahasa Inggris
yang di gunakan Kafka terdengar agak lain dari yang biasa kudengar, sehingga
membuatku tertawa. Kafka telah berhasil membuka pintu kamar dan memapahku masuk
ke dalam. “Waaahhh… tempat tidur kamu besar,” ucapku dan perlahan-lahan
melepaskan diri dari pelukan Kafka lalu melangkah kearah tempat tidur. Tanpa
menunggu undangan aku langsung merangkak naik ke atasnya dan merebahkan tubuh
dengan masih mengenakan semua pakaian, termasuk sepatu. Tempat tidur itu nyaman
sekali dengan sisa-sisa aroma parfum laki-laki. Kutarik napas dalam-dalam
sebelum mengembuskannya dengan suara yang cukup keras. “Bantal. Aku mau
bantal,” teriakku dan dua bantal besar muncul di sebelah kiri dan kananku. Aku
merasakan seseorang sedang melepaskan sepatuku sebelum kemudian menarik bed
cover untuk menyelimuti tubuhku. “Mmmhhh… thank you,” ucapku. “You’re welcome,”
balas Kafka sebelum kemudian duduk di sampingku dan membelai rambutku. “You’re
nice,” gumamku, dan kurasa aku langsung tertidur setelah itu karena aku tidak
ingat apa-apa lagi. Tetapi kalau aku langsung tidur pada saat itu juga dengan
masih mengenakan semua pakaianku, bagaimana mungkin aku terbangun hanya dengan
pakaian dalam? Aku harus pergi menemui Kafka lagi nanti untuk meminta
penjelasannya atas kejadian tadi malam. Tiba-tiba tubuhku terasa panas-dingin.
Bagaimana mungkin setelah dua puluh tahun ini aku masih merasa takut untuk
bertemu dengan Kafka?
No comments:
Post a Comment