Friday, September 4, 2015

BLIND DATE - PROLOG

Prolog



HAL pertama yang aku sadari adalah bahwa aku sedang dalam keadaan di antara
alam sadar dan tidak sadar. Aku dapat mendengar bunyi bip... bip... bip... yang
konstan dan terus-menerus, seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak ditutup
rapat. Bunyi itulah yang membangunkanku. Kucoba berkata-kata dan meminta
seseorang agar mengencangkan keran itu, tetapi lidahku terasa berat dan kelu. Aku
mencoba membuka mataku, usaha yang juga tidak membuahkan hasil.
Kutenangkan diriku dan berusaha membuka mataku sekali lagi. Kali ini aku
berhasil membukanya sedikit, tetapi aku harus segera menutupnya kembali karena
ada sinar terang yang tiba-tiba membutakan penglihatanku. Ketika mataku tertutup
lagi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang menempel pada hidungku dan
membuatku sulit bernapas.
Sekali lagi kubuka mataku, tetapi kini lebih perlahan. Awalnya semuanya
terlihat buram, namun lama-kelamaan aku dapat menangkap warna dinding di
hadapanku. Putih keabu-abuan, ucapku dalam hati. Bunyi bip... bip... bip... yang tadi
aku dengar menjadi semakin keras. Bunyi itu ternyata berasal dari sebuah mesin di
sebelah kiriku. Garis hijau pada layarnya melonjak-lonjak setiap detik, menunjukkan
aku masih hidup. Aku ada di mana ini?! tanyaku pada diri sendiri. Jelas-jelas ini
bukan di apartemenku. Aku sadar, aku terbaring di atas tempat tidur yang biasanya
ada di rumah sakit. Rumah sakit?! Aku di rumah sakit?! Otakku berteriak, tetapi aku
tidak mendengar ada suara yang keluar dari mulutku. Kok aku bisa ada di sini?
Aku mendengar suara air dituang ke gelas. Tiba-tiba aku jadi merasa sangat
haus. Aku mencoba menelan ludah dan membasahi kerongkonganku, tetapi
mulutku terasa bagai ada pasirnya sehingga aku harus bersusah payah untuk
menghasilkan air liur. Ketika mulutku sudah terasa sedikit basah, kugerakkan
lidahku untuk membasahi bibirku. Samar-samar aku bisa mendengar suara orang
bercakap-cakap, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas topik percakapannya.
Kualihkan perhatianku untuk mengenali sekelilingku. Ada jendela besar di sebelah
kananku, dan rangkaian mawar putih, bunga favoritku, di atas satu-satunya meja
yang bisa aku lihat.
Aku tidak bisa memastikan waktu yang tepat pada saat itu. Sinar matahari yang
masuk dari sela-sela kerai vertikal berwarna putih menunjukkan hari masih siang
atau sore, yang jelas bukan malam. Pelan-pelan kuangkat tangan kiriku dan terasa
ada jarum menusuk pergelangan tanganku. Selain itu, ada selang yang
menghubungkan pergelangan tanganku itu dengan sebuah kantong cairan bening
yang digantung pada tiang besi di samping tempat tidurku. Aduhhh, pakai ada
jarum pula di tanganku!
Ketika aku sedang menggerakkan tangan kananku untuk mencabut jarum itu
dari pergelangan tangan kiriku, tiba-tiba aku mendengar suara orang berbisik,
She‟s awake.
Kualihkan tatapanku dari lengaku ke arah seorang wanita bule, yang dari
pakaiannya jelas-jelas seorang suster. Tiba-tiba kulihat wajah Didi, adikku, yang
terlihat cemas. Kemudian dia tersenyum lebar karena melihatku sudah sadar dan
buru-buru berjalan menghampiriku.
Suster itu kemudian berdiri di sebelah kiriku, dan menggenggam pergelangan
tanganku. “How are you feeling?” tanyanya kepadaku, masih dengan suara berbisik.
Aku sebetulnya ingin berteriak kepadanya agar mencabut jarum yang menusuknusuk
lenganku, tetapi yang keluar dari mulutku justru, “Wah... teh.” Kata yang
ingin aku ucapkan adalah water, tetapi lidahku tidak bisa bekerja sama. Untungnya
suster itu langsung memahami apa yang aku inginkan. Dia segera menyodorkan
satu gelas plastik air putih dengan sedotan di dalamnya. Aku berusaha mengangkat
kepalaku sedikit agar bisa minum melalui sedotan yang bisa dibengkokkan. Didi
yang melihat apa yang aku sedang coba lakukan membantuku dengan menopang
kepala dan bahuku. Suster itu tetap memegang gelas di hadapanku. Pelan-pelan
cairan dingin mulai membasahi kerongkonganku. Aku baru berhenti minum ketika
gelas itu sudah kosong.
Do you want more?” bisik suster itu, setelah menyingkirkan gelas kosong dari
hadapanku.
Aku menggeleng kaku dan menyandarkan kepalaku kembali ke bantal.
“Saya akan beritahu Dokter Smith bahwa kamu sudah bangun.” Suster itu lalu
menghilang dari pandanganku setelah mengangguk kepada Didi.
Didi kemudian duduk di atas tempat tidur di sebelah kananku. Dia tersenyum
sendu. Aku sebetulnya ingin bertanya, “Aku ada di mana?” Ketika aku mencoba
berkata-kata, yang keluar dari mulutku hanya, “Gu...,” dan aku kemudian terbatukbatuk.
Didi buru-buru menuangkan air ke gelas plastik yang tadi, dan memintaku
minum lagi hingga habis. Wajahnya terlihat khawatir.
“Jangan dipaksa, Mbak. Istirahat saja dulu. Bicaranya nanti saja,” katanya
dengan suara agak bergetar dan menyingkirkan gelas kosong itu dari hadapanku.
Aku perhatikan Didi terlihat cukup tenang, tetapi aku tahu sebetulnya dia panik.
Aku bisa melihat kepanikan itu di matanya.
Kucoba tersenyum agar bisa menenangkannya. Kusentuh benda yang
menempel pada hidungku, yang ternyata adalah infus. Didi menggenggam
tanganku dan menjauhkannya dari selang itu.
“Tunggu dokter ya, Mbak. Kalau dia bilang nggak apa-apa, kita bisa lepas
infusnya,” jelasnya. Setelah yakin aku tidak akan menarik infus dari hidungku, Didi
melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia kemudian mengelilingi tempat tidur
dan menyingkapkan tirai kain putih di sebelah kiriku.
Ketika aku menoleh, kulihat kami tidak sendirian. Ada seseorang yang sedang
tidur di atas sofa. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi yang jelas sofa itu tidak
bisa menampung tubuhnya yang tinggi besar sehingga kedua kakinya menjulur
keluar dari salah satu sisi sofa.
Melihatku memusatkan perhatian kepada orang yang tertidur di sofa itu, Didi
berbisik, “Dia nggak mau pulang, padahal sudah aku katakan aku bisa jaga Mbak
sampai dia balik.” Didi tersenyum ketika mengatakannya. Suaranya terdengar lebih
pasti, dan dari balik matanya aku bisa melihat ada kehangatan di situ.
Siapa orang itu? pikirku. Aku menarik napas panjang ketika tiba-tiba beberapa
hal mulai melintas kembali dalam memoriku. Aku ingat, aku sedang mengendarai
mobil super ngebut dari kantorku menuju Raleigh. Hal ini tentu saja sangat
berbahaya mengingat kondisi jalan yang licin akibat hujan rintik-rintik yang jatuh
selepas salju tadi malam. Aku tahu, ada kemungkinan aku akan terlambat dan dia
sudah pergi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku kalau itu terjadi. Kupaksa
Mitsubishi-ku menembus angka 145 km per jam. Mesin mobil yang berusia hampir
sepuluh tahun itu langsung protes atas perlakuan kejamku, tetapi untuk pertama
kalinya aku tidakpeduli.
Kulihat masih ada beberapa bongkahan es yang tersisa di pinggir jalan. Musim
dingin tahun ini benar-benar parah di North Carolina. Salju yang turuh bahkan
mencapai enam puluh senti. Belum lagi hujan es yang turun berkali-kali selama
beberapa minggu belakangan ini membuat angin terasa menggigit jika bertiup dan
mengenai bagian tubuh yang tidak tertutup baju dingin. Kuikuti tanda lalu lintas,
yang menyatakan Airport Raleigh-Durham masih 1,6 km lagi. Aku segera
mengambil jalur kanan, keluar dari jalan interstate itu dengan tidak memedulikan
bunyi klakson mobil yang jalurnya aku potong dengan paksa. Roda mobil agak
tergelincir sedikit ketika kubanting setir, tetapi aku tidak mengurangi kecepatan
pada saat melewati tikungan.
Andaikan aku tidak lupa membawa telepon selular?! Saking terlalu terburuburu,
benda itu tertinggal di kantor. Seandainya pun aku membawa telepon selular
itu, rasanya tidak akan bisa membantuku. Apa yang akan aku katakan? I‟m sorry for
being so stupid, for thinking that you would leave me? Atau I love you, please tell me that
you love me too? Kata-kata itu tidak bisa menggambarkan perasaanku yang
sebenarnya. Aku tidak bisa bernapas jika dia tidak ada. Jika aku mencoba melihat
masa depanku tanpanya, semuanya terlihat suram. Diriku tanpanya bagaikan
satelit, yang planetnya telah hancur karena bencana alam besar, meninggalkanku
melayang-layang tanpa arah. Mengapa aku terlalu bersikeras bahwa dia tidak
mencintaiku hanya karena terpengaruh kata-kata orang yang telah membuat hatiku
remuk? Dia tidak akan meninggalkanku seperti yang aku takutkan selama ini. Titik!
Bunyi klakson membangunkanku dari lamunan, ternyata aku sudah memasuki
area airport. Aku harus mengangkat kakiku dari pedal gas karena batas kecepatan
di area ini hanya 48 km per jam. Aku tidak punya waktu kalau harus ditilang hari
ini. Setelah memarkir mobil, buru-buru aku berlari menuju bangunan terminal. Aku
harus sedikit menunduk dan memeluk tubuhku ketika berlari karena angin kencang
sedang bertiup, dan aku hanya mengenakan sweater turleneck warna pink, yang
terbuat dari cashmere. Aku tidak mengenakan jaket, topi ataupun sarung tangan.
Aku baru bisa bernapas lagi setelah tubuhku terasa hangat di dalam bangunan
terminal. Aku mengamati lokasi keberangkatan mencari counter check-in
penerbangan Delta Airlines. Kusempatkan melirik ke layar informasi keberangkatan
pesawat. Pada layar terlihat status pesawat yang aku cari adalah LAST CALL. Panik
karena tahu aku sudah terlambat, aku berlari menuju counter check-in Delta terdekat
dan berbicara dengan ground crew-nya. Aku memotong beberapa orang yang sedang
antre.
Can you... contact your passenger... who is on the flight to JFK?” tanyaku terputusputus
di antara napasku yang masih terengah-engah.
Entah karena melihat wajahku yang panik atau karena tatapanku yang seperti
orang gila, seorang penumpang yang sudah siap check-in mundur satu langkah dan
memberikan aku ruang untuk berbicara lebih dekat dengan ground crew bernama
Kate, yang menerima berondonganku dengan wajah pasrah.
Thank you, Sir,” ucapku, berterima kasih kepada bapak yang rela mundur dan
memberikan aku ruang untuk melangkah lebih dekat dengan meja check-in.
Melihat bahwa penumpang yang sedang dilayaninya tidak marah walaupun
antreannya aku potong, Kate pun segera menolongku. Dia menanyakan nomor
penerbangan dan nama penumpang yang aku cari. Aku menjawabnya tanpa
berpikir lagi. Kudengar Kate berbicara dengan seseorang menggunakan walkie-talkie.
Dalam kepanikanku, aku hanya bisa menangkap kata-kata „departure dan „gate yang
diulang-ulang. Kate kemudian menatapku dan menggeleng. “I‟m sorry, Ma‟am, but
the gate‟s closed. The plane is heading for the runway as we speak.
Daerah di sekujur tubuhku membeku. Melihat wajahku memucat, Kate
langsung berkata, “Mungkin Anda bisa menghubungi orang yang Anda cari setelah
pesawatnya mendarat di JFK dalam beberapa jam.”
Aku menggeleng. “Nggak, nggak bisa. Dia akan sudah dalam perjalanan
menuju Charles de Gaulle,” gumamku.
Kutinggalkan counter itu dengan orang-orang yang menatapku bingung dan
penasaran. Kalau saja penerbangannya hanya akan berhenti di JFK?! Akan tetapi,
aku tahu dia akan menyambung perjalanannya dengan Air France menuju Paris,
lalu Nice. Asistennya memang mengatakan dia akan kembali dua bulan lagi, tetapi
aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus berbicara dengannya sekarang. Aku
dapat merasakan hatiku yang sudah retak selama beberapa bulan belakangan ini
kini hancur berkeping-keping. Mataku mulai terasa agak kabur, dan air mata mulai
membasahi pipiku. Aku mencoba mengusapnya dengan lengan sweater, tetapi air
mata itu tidak mau berhenti.
Why is that lady crying, Mommy?” Kudengar seorang anak kecil, yang sedang
menatapku, bertanya kepada ibunya.
“Jessica, tidak sopan menatap orang seperti itu. Look away,” komentar ibunya,
kemudian memalingkan wajah anak itu dengan paksa agar tidak lagi menatapku.
Beberapa orang yang berpapasan denganku menatapku dengan bingung atau
khawatir. Ada pula yang menatapku dengan penuh rasa kasihan. Aku bisa
membaca pikiran mereka melalui tatapan itu.
Oh look at that, she must be crying because she just say goodbye to her boyfriend, pikir
seorang ibu. Seakan-akan dia siap memelukku dan menepuk-nepuk punggungku
sambil berkata, “Sudah... sudah... jangan menangis. Dia akan kembali kok,
sweetheart,” untuk menenangkanku.
Sayang, dia terlalu cantik untuk menangis seorang diri. Mungkin aku sebaiknya
membantu menenangkannya, pikir seorang laki-laki yang sebenarnya cukup ganteng
dan wajib didekati kalau saja aku tidak sedang merasa sesedih ini.
!@#$%^&*()?/, pikir dua orang anak kuliahan, yang aku yakin berasal dari
Korea. Karena aku tidak mengerti bahasa Korea, maka aku juga tidak akan bisa
memahami apa yang sedang mereka pikirkan.
Kupercepat langkah untuk menghindari mereka semua. Aku baru
memperlambat langkah setelah berada di luar bangunan terminal, dan perlahanlahan
berjalan menuju pelataran parkir. Aku merasa terlalu limbung untuk
merasakan dinginnya angin yang sedang bertiup kencang di sekelilingku. Ketika
aku sedang menyeberangi jalan, tiba-tiba kudengar seseorang meneriakkan namaku.
Suara itu?! Suara yang aku kenal di mana pun aku berada dan seberapa jauh pun.
Semula aku mengacuhkan suara itu karena aku pikir itu hanya imajinasiku saja.
Kuangkat kedua tanganku untuk menutupi telinga.
“Berisiii... kkkk!” geramku.
Kemudian kudengar suara yang sama meneriakkan namaku dengan volume
lebih keras dan berkali-kali. Suara itu berasal dari belakangku. Perlahan-lahan aku
menoleh dan harus memutar seluruh tubuhku agar bisa menatapnya. Aku langsung
tersedak ketika melihatnya sedang berdiri di trotoar. Wajah gantengnya dengan
hidung, kening, mata, dan garis-garis rahang yang sempurna terlihat bingung dan
tidak pasti. Perlahan-lahan kemudian wajahnya mulai dihiasi senyuman hangat.
Senyum itu semakin melebar sehingga aku bisa melihat gigi-giginya yang putih dan
tertata rapi. Ya... Tuhan, aku benar-benar mencintai laki-laki satu ini, ucapku dalam
hati.
Aku mencoba mengontrol tangisku, akan tetapi bukannya berhenti, air mata
malah semakin membanjiri wajahku. Kali ini air mataku adalah air mata
kebahagiaan. Aku mencoba tertawa di antara tangisku. Detak jantungku sudah
tidak keruan. Aku harus meletakkan tanganku di dada untuk mencegah agar
jantungku tidak loncat keluar dari tempatnya. Tanpa berpikir panjang lagi aku
langsung melangkahkan kaki berlari ke pelukannya.
Tiba-tiba kudengar dia berteriak, “Titania, watch out!” sambil menolehkan
kepalanya ke arah kananku, dan dengan menggunakan kedua tangannya mencoba
menarik perhatianku. Wajahnya terlihat panik.
Awalnya aku hanya menatapnya bingung, tetapi ketika kutolehkan kepalaku ke
arah yang ditunjuknya semua oksigen yang ada di sekitarku tiba-tiba menghilang
dan aku tidak bisa bernapas. Aku langsung panik. Aku melihat sebuah Toyota
Camry warna hitam melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi. Mengapa tidak ada
polisi yang menilang mobil ini? Jelas-jelas dia melanggar batas kecepatan yang
tertera di area airport.
Semuanya bagaikan bergerak lambat. Pandanganku beralih dari Camry itu ke
wajah orang yang aku cintai, yang sedang menatapku dengan mata terbelalak
karena panik. Aku tidak bisa meninggal hari ini, apalagi karena ditabrak mobil.
Tidak peduli mobil itu sebuah sedan mewah sekalipun. Terlebih-lebih baru tiga
puluh detik yang lalu aku bisa menemukan kebahagiaanku lagi. Kuperintahkan
kakiku agar berlari secepat mungkin menghindari mobil itu, tetapi tubuhku
menolak mendengarkan perintah dari otakku. Aku hanya bisa berdiri kaku dan
menutup mata, menunggu hingga sedan hitam itu menghantamku.
Ya... Tuhan, jangan sekarang! Tolong... jangan sekarang, pintaku dalam hati.
Kalau aku dibolehkan hidup, aku akan tobat. Aku akan meluangkan waktu untuk
membantu orang lain, meskipun aku sedang sibuk. Ketika aku menyadari bahwa
aku sedang bernegosiasi dengan Tuhan, aku pun berhenti berlari. Akhirnya, aku
hanya menggumam, “Berikanlah aku satu kesempatan lagi! Aku janji akan lebih
berterima kasih atas segala sesuatu yang sudah aku terima dalam hidupku.”
Kemudian kudengar bunyi rem mobil yang sedang bersusah payah untuk
berhenti.
Ciiiiiii... ttttttttttt... GUBRAK...!

Lalu, semuanya gelap.


BLIND DATE - PART 1

No comments:

Post a Comment